-->

Penjelasan Tradisi Sejarah Masyarakat Kala Praaksara

Penjelasan Tradisi Sejarah Masyarakat Masa Praaksara - Dalam setiap masyarakat terdapat tradisi yang ialah kebudayaan yang sudah dimiliki oleh masyarakat tersebut. Tradisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat mengalami perkembangan. Salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat yaitu tradisi sejarah. 

Tradisi ini mengandung arti bagaimana masyarakat membuktikan masa lalunya berdasarkan perkembangan kebudayaan yang dimilikinya. Perkembangan tradisi sanggup dilihat dari perkembangan masa praaksara dan masa aksara.

Masyarakat Indonesia sebelum mengenal abjad sudah mempunyai tradisi sejarah. Maksud tradisi sejarah yaitu bagaimana suatu masyarakat mempunyai kesadaran terhadap masa lalunya. Kesadaran tersebut kemudian ia rekam dan diwariskan kepada generasi diberikutnya. Perekaman dan pewarisan tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Masyarakat dalam memahami masa lalunya akan ditentukan oleh alam pikiran masyarakat pada masa itu atau “jiwa zaman”.

Tradisi Sejarah Masyarakat Masa Praaksara Penjelasan Tradisi Sejarah Masyarakat Masa Praaksara
Alam pikiran masyarakat yang belum mengenal goresan pena sudah tentu tidak sama dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan. Tulisan intinya ialah salah satu hasil dari alam pikiran manusia. 

Kehidupan insan memperlihatkan adanya suatu kesinambungan waktu. Kesinambungan ini terlihat dalam tahap-tahap kehidupan manusia, contohnya mulai ia dilahirkan, masa kanak-kanak, masa dewasa, dan hingga orang tua. Dalam kesinambungan waktu itulah nampak terjadi perubahan-perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri masyarakat sanggup menjadi pengalaman hidup masa lalunya. Pemahaman terhadap masa lalunya selalu berkaitan dengan bagaimana masyarakat tersebut melihat perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungan di sekitarnya. 

Secara garis besar, perubahan sanggup dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang bersifat alami dan perubahan yang bersifat insani. Perubahan alami yaitu perubahan yang terjadi pada alam itu sendiri menyerupai gempa bumi, pegunungan meletus, banjir, dan lain-lain. Adapun perubahan insani yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia, baik bersifat individu maupun kelompok, contohnya kelahiran, peperangan, dan kejadian-kejadian lainnya.

Masyarakat yang belum mengenal goresan pena melihat alam sebagai belahan yang terpenting dalam memilih perubahan diri dan lingkungannya. Alam yaitu pusat segala perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, baik yang ada pada dirinya maupun lingkungannya, lebih banyak menempatkan alam sebagai penyebab utama perubahan tersebut. Sebab, alam ialah pusat utama perubahan, maka insan pada masa sebelum mengenal goresan pena memperlakukan alam sebagai kekuatan yang harus dihormati bahkan dikultuskan. Alam mempunyai kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu aturan keteraturan, yaitu hukum alam. Hukum alam inilah yang banyak mengatur perubahan pada diri manusia.

Dalam pemahaman sebagaimana diuraikan di atas, insan pada masa belum mengenal goresan pena melihat perubahan yang terjadi pada insan yang bersumber dari kekuatan di luar diri manusia. Bahkan kekuatan itu bukan spesialuntuk bersumber dari alam akan tetapi bersumber pula dari kekuatan-kekuatan lain selain manusia. Kekuatan tersebut menyerupai tuhan atau figur-figur tertentu yang mempunyai kesaktian. Pemahaman menyerupai ini disebut dengan pemahaman yang bersifat religius magis.

Dalam pemikiran yang bersifat magis religius, pemikiran insan dalam melihat asal undangan insiden tidaklah bersifat rasional atau masuk akal, tetapi bersifat irrasional. Manusia ialah belahan dari sebuah kekuatan besar yang berada di luar dirinya. Pemikiran yang menyerupai ini tidak menempatkan insan sebagai kekuatan yang otonom, artinya mandiri. Manusia yaitu objek perubahan, bukan subjek perubahan. Dalam sebuah perubahan, insan mempunyai kedudukan yang bersifat subordinatif.

Pemikiran yang bersifat religio magis banyak bertebaran di Indonesia, contohnya dalam kisah asal undangan terkena suatu tempat diawali dengan hadirnya seorang tokoh yang mempunyai kesaktian. Tokoh tersebut sanggup berupa tuhan atau setengah tuhan setengah manusia. Tokoh tersebut ditempatkan sebagai figur yang sentral. 

Kehadirannya ke tempat tersebut diutus oleh tuhan tertinggi yang menguasai alam. Dalam kisah asal undangan tempat itu, semoga menjadi lebih manusiawi (ada tugas manusia), biasanya diceritakan tokoh tersebut berkeluarga dengan manusia. Pernikahan ini akan melahirkan keturunan dan keturunannya ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya tempat tersebut.

Begitu pula halnya dalam membuktikan insiden alam. Perubahan yang terjadi pada alam dianggap sebagai suatu kehendak di luar kehendak manusia. Manusia spesialuntuk bersikap pasrah terhadap perubahan yang terjadi pada alam tersebut. Kehendak yang dimaksud sanggup berupa kehendak dewa. Seperti terjadinya banjir atau peristiwa alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan sikap manusia, insiden alam itu sanggup dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan tuhan kepada manusia.

Kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal goresan pena sudah terbentuk. Mereka berupaya semoga tradisi sejarah yang mereka miliki sanggup diwariskan kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama semoga generasi penerusnya mempunyai pengetahuan masa lalunya, dan tujuan yang lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan. Keyakinan tersebut mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap mempunyai kegunaan bagi kehidupan. Bahkan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam membimbing jalan kehidupannya.

Teknik pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari lisan ke mulut. Hal ini dilakukan lantaran pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, tidak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis. Penuturan melalui menceritakan ialah cara yang efektif untuk mewariskan kepada generasi diberikutnya. Teknik penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah tradisi lisan.
Fungsi utama dalam tradisi lisan yaitu pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa kemudian berdasarkan pandangan suatu kelompok masyarakat. Bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan terhadap apa yang diceritakan dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan ialah belahan dari budaya bagi masyarakat yang memegangnya.
Sebagai suatu aspek budaya, maka kepentingan untuk membuktikan atau memahami lingkungan sekitar itu sekaligus sebagai perjuangan memdiberi pegangan kepada masyarakat terutama generasi diberikutnya dalam menghadapi banyak sekali kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik”, yaitu perjuangan untuk merekam, menyusun, dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi diberikutnya.

Keyakinan masyarakat pendukung tradisi lisan disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang terkandung dalam kisah tersebut. Mereka tidak terlalu memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya secara konkret ada. Nilai-nilai tersebut contohnya keteladanan, keberanian, kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan, kasih akung, dan lain-lain. 

Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu disebut juga dengan kearifan lokal. Disebut demikian lantaran nilai-nilai yang terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam konteks kini nilai-nilai itu sangat mempunyai kegunaan untuk diterapkan.

Dalam tradisi lisan, terdapat pesan-pesan yang banyak mengandung unsur kearifan. Pesan-pesan itu disampaikan secara verbal, alasannya pada masa itu belum mengenal tulisan. Ada dua ciri penting tradisi lisan. Pertama, menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan, atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu disampaikan dalam bentuk teks (tertulis).

Tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah lisan (oral history), disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh generasi sezaman. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya lantaran mempunyai fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk pewarisan.

Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis. 

1. Berupa “petuah-petuah” yang sebetulnya ialah rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya ditetapkan berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diperlukan sanggup menjadi pegangan bagi generasi-generasi diberikutnya. 

Rumusan kalimat atau kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak diubah-ubah, meskipun dalam kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama setelah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, sehingga sukar dicek dengan rumusan aslinya. Namun, lantaran kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah.

2. Bentuk yang kedua dari tradisi lisan yaitu “kisah” wacana kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group account). Sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang magis religius, kisah-kisah ini yang sebetulnya diberintikan suatu fakta tertentu, biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu. 

Teknik penyampaian fakta memang menyerupai memberikan gosip (penuh dengan tambahan-tambahan berdasarkan selera penuturnya), maka disebut pula dengan istilah “historical gossip” (gosip yang bernilai sejarah). Untuk kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa generasi, sehingga riwayat keluarga ini kemudian biasa menjadi milik kelompok yang sering dikeramatkan bagi generasi-generasi diberikutnya, yang biasanya diperbaharui (dimenambahkan) secara berkesinambungan.

3. Bentuk ketiga dari tradisi lisan yaitu “cerita kepahlawanan”. Cerita ini meliputi majemuk citra wacana tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pemimpin masyarakat). 

Beberapa kisah kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi historis yang patut diperhatikan lantaran unsur fakta sejarahnya yang masih sanggup ditelusuri, tetapi pada umumnya sudah terselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, sehingga adakala dianggap lebih bersifat hasil sastra.

4. Bentuk keempat, yaitu bentuk kisah “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi untuk sangat senang (menghibur) pendengarnya meskipun sering di dalamnya terkandung unsur-unsur petuah.

Demikianlah Materi Penjelasan Tradisi Sejarah Masyarakat Masa Praaksara, selamat belajar.
LihatTutupKomentar