Sejarah Kerajaan Mataram Islam - Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja.
Untuk melambangkan status kebemasukan raja sanggup dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Sesudah runtuhnya Kerajaan Demak, sentra pemerintahan dipindahkan ke Pajang oleh Joko Tingkir ( menantu Sultan Trenggono). Joko Tingkir menaiki takhta Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo. Usia pemerintahannya tidak begitu usang yakni 1568–1586. Hal ini disebabkan kota-kota pesisir terus memperkuat diri dan erusaha melepaskan dari kekuasaan Pajang. Sesudah Sultan Hadiwijoyo meninggal (1586) takhta Pajang digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benowo. Ternyata, Pangeran Benowo tidak sanggup mengatasi kekacauan-kekacauan sehingga kekuasaan diserahkan kepada Sutowijoyo. Puncaknya, Sutawijoyo memindahkan sentra pemerintahan ke Kotagede dan berdirilah Kerajaan Mataram Islam.
Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram pertama dengan gelar Pguambahan Senopati (1586–1601) dengan Kotagede sebagai ibukotnya. Tindakan-tindakannya yang penting, antara lain sebagai diberikut:
1) meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram;
2) memperluas wilayah kekuasaan dengan menundukkan Surabaya, Madiun, dan Ponorogo ke timur dan ke barat berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh.
Pengganti Pguambahan Senopati ialah Mas Jolang gugur di kawasan Krapyak sehingga disebut Pguambahan Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645).Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir Kompeni (VOC) dari Batavia. Masa pemerintahan Sultan Agung yang selama 32 tahun dibedakan atas dua periode, yaitu masa Penyatuan Kerajaan dan masa Pembangunan.
Masa Penyatuan Kerajaan (1613–1629) ialah masa peperangan untuk mewujudkan impian menyatukan seluruh Jawa. Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan, dan Tuban. Selanjutnya, menundukkan Lasem, Pamekasan, dan Sumenep, bahkan juga Sukadana di Kalimantan. melaluiataubersamaini demikian, seluruh Jawa sudah takluk di bawah Mataram bahkan hingga ke luar Jawa, yakni Palembang, Sukadana, dan Goa.
Sesudah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Bupati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan bahari selama dua bulan, namun tidak mau menyera,h bahkan sebaliknya tentara Mataram dipukul mundur.
Dipersiapkan serangan yang kedua lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan masakan di Tegal, Cirebon, dan Krawang. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Bupati Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun, VOC sudah mengetahui lebih lampau planning tersebut.
Hal itu dibuktikan dengan tindakan VOC memperabukan dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan. Serangan kedua Mataram ke Batavia mengalami kegagalan lantaran kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terserang wabah penyakit.
Sesudah Sultan Agung meninggal, takhta kerajaan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Amangkurat I (1645–1677). Berbeda dengan ayahnya, raja ini tidak bijaksana dan cenderung kejam dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Banyak rakyat dan kaum aristokrat tidak menyukainya.
Hal yang sangat tidak disenangi ialah perteman dekatannya dengan VOC yang lampau sangat dibenci oleh ayahnya. Akibat muncullah pemberontakan Trunojoyo (1674–1680). Trunojoyo ialah pangeran dari Madura yang tidak bahagia terhadap tindakan Amangkurat I sehingga menghimpun kekuatan untuk menyerang Mataram. Pada tahun 1677 pasukan Trunojoyo berhasil menduduki Plered, ibu kota Mataram.
Amangkuat I bermaksud minta menolongan VOC ke Batavia, namun gres hingga di Tegalarum meninggal sehingga dimakamkan di tempat itu juga. Oleh lantaran itu, Amangkurat I dikenal juga sebagai Sultan Tegalarum. Pengganti Amangkurat I ialah putra mahkota yang bergelar Sultan Amangkurat II (1677–1703).
Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II meminta menolongan VOC di Semarang. Pimpinan VOC, Speelman menyetujui permintan Amangkurat II dengan suatu perjanjian (1670) yang isinya sebagai diberikut.
1) VOC mengakui Amangkurat II sebagai Raja Mataram.
2) VOC mendapat monopoli di Mataram.
3) Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II.
4) Sebelum pinjamannya lunas seluruh pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
5) Mataram harus menyerahkan kawasan Krawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Pada ketika itu Tronojoyo sudah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di menolong oleh tentara Aru Palaka dari Makasar dan Kapten Jonker dari Ambon bersama tentara Mataram karenanya menyerang Kediri. Tronojoyo tidak bisa menghadapi gempuran tentara Mataram dan VOC, terus terdesak ke kawasan pepegununganan dan bertahan di Gunung Wilis. Trunojoyo mengalah pada tanggal 25 Desember 1679 dan karenanya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Sultan Amangkurat II kemudian memindahkan sentra pemerintahan dari Plered ke Kartasura.
Perlawanan Untung Suropati (1686–1706)
Untung Suropati, demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat II. Sikap benci Untung kepada VOC sudah muncul semenjak di Batavia. Untung kemudian melarikan diri ke Cirebon dan terjadi perkelahian dengan Suropati maka namanya menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan ke Kartasura.
Amangkurat II sehabis menjadi raja mencicipi betapa beratnya perjanjian yang sudah ditanhadirani dan berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati datang di Kartasura disambut dengan baik. Pada tahun 1686 hadir utusan dari Batavia di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal pinjaman Amangkurat II dan menangkap Untung Suropati.
Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di sinilah karenanya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan. Bupati-bupati seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya makin kuat.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan gelar Sultan Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger (adik Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang untuk mendapat santunan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger menyerang Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
Pihak Belanda menyiapkan pasukan secara besar-bemasukan untuk menggempur pasukan Untung di Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan karenanya gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas bisa tertangkap dan kemudian dimembuang ke Sailan/Sri Langka (1708).
Pada tahun 1719 Sunan Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan Prabu) di bawah mandat VOC. Makin eratnya korelasi denganVOC membuat para aristokrat benci kepada kompeni. Mereka mengadakan perlawanan, antara lain Pangeran Purboyo (adik Sunan) dan Pangeran Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan terhadap Kompeni sanggup dipadamkan dan para pemimpinya ditangkap dan dimembuang ke Sailan dan Afrika Selatan, kecuali Pangeran Mangkunegoro yang diampuni ayahnya.
Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh orang-orang Tionghoa yang gagal mengadakan pemberontakan terhadap VOC di Batavia. Mas Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura.
Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta menolongan kepada Bupati Madura, Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan keinginan Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan lantaran Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir dengan ditangkapnya dan di membuang ke Afrika Selatan (1745).
Sesudah beberapa kali terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak sebagai ibu kota kerajaan sehingga sentra pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Makin bercokolnya VOC di Mataram menimbulkan pada masa Paku Buwono II ini juga terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan Raden Mas Said (putra Pangeran Mangkunegoro) dan menduduki Sukowati.
Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam sayembara, siapa yang sanggup merebut kawasan Sukowati akan mendapat kawasan itu sebagai imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut Sukowati, tetapi ternyata kawasan itu tidak didiberikan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan kota dan bergabung dengan Raden Mas Said melaksanakan perlawanan.
Mataram Terpecah Belah
Sesudah Mangkubumi bergabung dengan Mas Said, terjadilah komplotan antara Mangkubumi dan Mas Said melawan Paku Buwono II dan III. Pada waktu Paku Buwono II sakit keras, utusan VOC dari Batavia hadir ke Surakarta. Dalam keadaan lemah dan tidak sadar, Paku Buwono II menyerahkan Mataram kepada VOC. Hasl yang demikian mungkin saja terjadi. Menurut tradisi Timur orang yang akan meninggal biasanya menyerahkan keluarganya kepada orang yang menjadi kepercayaannya. Hal ini diartikan oleh Belanda bahwa semenjak itu VOC berkuasa penuh atas Mataram.
Pada tahun 1749 Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono III. Awalnya, Belanda mengakuinya sebagai Sultan Mataram yang baru, tetapi sehabis itu VOC berusaha untuk memecah belah Mataram sehingga sanggup dikuasainya.
Perlawanan Mangkubumi dan Mas Said cukup tangguh. Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo (pangeran perenggut jiwa). Namun, lantaran di antara keduanya kterjadi perselisihan sehingga dimanfaatkan oleh Belanda untuk memecah belah Mataram. Perseteruan antara Paku Buwono II yang dimenolong Kompeni dan Pangeran Mangkubumi sanggup diakhiri dengan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755
Isi Perjanjian Giyanti pada pada dasarnya Mataram dipecah menjadi dua.
1) Mataram baratn yakni Kasultanan Yogakarta didiberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
2) Mataram timur ,yakni Kasunanan Surakarta didiberikan kepada Paku Buwono III.
Selanjutnya ,untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 175. Isi Perjanjian Salatiga pada pada dasarnya Surakarta dibagi menjadi dua.
1) Surakarta utara didiberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya dinamakan Mangkunegaran.
2) Surakarta selatan didiberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan Surakarta.
Pada tahun 1813 sebagian kawasan Kasultanan Yogyakarta didiberikan kepada Paku Alam selaku bupati. melaluiataubersamaini demikian, Kerajaan Mataram yang dahulinya satu, kuat, dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung karenanya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajan kecil diberikt ini:
1) Kerajaan Yogyakarta;
2) Kasunanan Surakarta;
3) Pakualaman;
4) Mangkunegaran.
Kerajaan Mataram yang terletak di pedalaman ialah sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah.
Pada masa Pembangunan, maka Sultan Agung melaksanakan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerah-daerah persawahan maka memprogramkan pemindahan para petani ke kawasan Krawang yang rindang. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa kebemasukan Mataram, kebudayaan juga berkembang, antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra, dan sebagainya. Di samping itu juga muncul kebudayaan kejawen yang ialah akulturasi antara kebudayan jawa, Hindu, Buddha dengan Islam.
Upacara Garebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri pegununganan yang ialah tradisi semenjak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam sehingga muncul Garebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud pada bulan Rabiulawal.
Hitungan tahun yang sebelumnya ialah tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka semenjak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang menurut pada peredaran bulan (tarikh komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan gres dan dikenal dengan tahun Jawa.
Adanya suasana yang aman, tenang dan tenteram menimbulkan berkembangnyaa kesusastraan Jawa. Sultan Agung mengarang kitab Sastra Gending yang berupa filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang meliputi anutan watak baik yang bersumber pada kitab Ramayana.
Demikianlah Materi Sejarah Kerajaan Mataram Islam, supaya bermanfaat