-->

Pengaruh Revolusi Industri Terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi, Dan Politik Di Indonesia

Pengaruh Revolusi Industri terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi, dan Politik di Indonesia - Revolusi Industri yang terjadi di Eropa dan di Inggris khususnya membawa dampak di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Di bidang sosial munculnya golongan buruh yang hidup menderita dan berusaha berjuang untuk memperbaiki nasib. 

Gerakan kaum buruh inilah yang kemudian melahirkan gerakan sosialis yang menjadi lawan dari Kapitalis. Bahkan, kaum buruh hasilnya bersatu dalam suatu wadah organisasi, yakni Partai Buruh. Di bidang ekonomi, perdagangan makin berkembang. Perdagangan lokal berkembang menjadi perdagangan regional dan internasional. Sebaliknya, di bidang politik, Revolusi Industri melahirkan imperialisme modern.


Sejak VOC dibubarkan pada tahun 1799, Indonesia diserahkan kembali kepada pemerintahan Kerajaan Belanda. Pindahnya kekuasaan pemerintahan dari VOC ke tangan pemerintah Belanda tidak berarti dengan sendirinya membawa perbaikan. Kemerosotan moral di kalangan para penguasa dan penderitaan penduduk jajahan tidak berubah. Usaha perbaikan bagi penduduk tanah jajahan tidak sanggup dilaksanakan lantaran Negeri Belanda sendiri terseret dalam perang dengan negara-negara besar tetangganya. 

Hal ini terjadi lantaran Negeri Belanda pada waktu itu diperintah oleh pemerintah boneka dari Kemaharajaan Prancis di bawah pimpinan Napoleon. Dalam situasi yang demikian, Inggris sanggup memperluas tempat kekuasaannya dengan merebut jajahan Belanda, Indonesia.

a. Hindia Belanda di Bawah Daendels (1808–1811)

Pengaruh Revolusi Industri terhadap Perubahan Sosial Pengaruh Revolusi Industri terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi, dan Politik di Indonesia
Dalam perjuangan mengadakan pembaharuan pemerintahan di tanah jajahan, di Negeri Belanda ada dua golongan yang mengusulkannya.

1) Golongan Konservatif dengan tokohnya Nenenberg yang menginginkan untuk mempertahankan sistem politik dan ekonomi ibarat yang dilakukan oleh VOC.
2) Golongan Liberal dengan tokohnya Dirk van Hogendorp yang menghendaki biar pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem pemerintahan eksklusif dan memakai sistem pajak. Sistem penyerahan paksa yang dilakukan oleh VOC biar digantikan dengan sistem penyerahan pajak.

Di satu pihak pemerintah condong kepada pemikiran kaum Konservatif lantaran kebijaksanaannya akan menhadirkan laba yang cepat dan praktis dilaksanakan. Di pihak lain, pemerintah juga ingin menjalankan pembaharuan yang dikemukakan oleh kaum Liberal. Gagasan pembaharuan pemerintahan kolonial dimulai sejak pemerintahan Daendels. 

Sebagai gubernur jenderal pemerintahan Belanda di Indonesia, Daendels banyak melaksanakan langkah-langkah gres dalam pemerintahan. Daendels mengadakan perombakan pemerintahan secara radikal, yakni meletakkan dasar-dasar pemerintahan berdasarkan sistem Barat. Langkah-langkah tersebut, antara lain:

1) Pemerintahan kolonial di pusatkan di Batavia dan berada di tangan gubernur jenderal.
2) Pulau Jawa dibagi menjadi sembilan prefectur. Hal ini untuk mempergampang manajemen pemerintahan.
3) Para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda di bawah pemerintahan prefect.
4) Mengadakan pemberantasan korupsi dan penyelewengan dalam pungutan (contingenten) dan kerja paksa.
5) Kasultanan Banten dan Cirebon dijadikan tempat pemerintah Belanda yang disebut pemerintah gubernemen.
6) Berbagai upacara di istana Surakarta dan Yogyakarta disederhanakan.

Pada awal pemerintahannya, Daendels menentang sistem kerja paksa dan merombak sistem feodal. Akan tetapi, kiprah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris mengakibatkan Daendels terpaksa harus mengadakan penyerahan kerja paksa secara besar-bemasukan (dengan memakai imbas penguasa pribumi) untuk membangun jalanj-alan dan benteng-benteng pertahanan.

Demikian juga lantaran kas negara kosong mengakibatkan juga ditempuh cara-cara usang untuk mengisi kas negara. melaluiataubersamaini demikian, kehidupan rakyat pribumi tetap menderita. Ketika hasilnya Inggris menyerbu Pulau Jawa, Daendels sudah dipanggil kembali ke Eropa. Penggantinya tidak bisa menahan serangan Inggris dan terpaksa menyerah. melaluiataubersamaini demikian, Indonesia berada di bawah kekuasaan Inggris.

b. Masa Pemerintahan Raffles (1811–1816)

Sesudah Indonesia (khususnya Pulau Jawa) jatuh ke tangan Inggris, oleh pemerintah Inggris dijadikan belahan dari jajahannya di India. Gubernur Jenderal East India Company (EIC), Lord Minto yang berkedudukan di Calcuta (India) kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur (wakil gubernur) untuk Indonesia (Jawa).

Raffles didampingi oleh suatu tubuh gerahihat yang disebut Advisory Council. Tugas yang utama ialah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan, serta keuangan. Sebagai seorang yang beraliran liberal, Raffles menginginkan adanya perubahanperubahan dalam pemerintahan di Indonesia (Jawa).

Selain bidang pemerintahan, ia juga dilakukan perubahan di bidang ekonomi. Ia hendak melaksanakan kebijaksaaan ekonomi yang didasarkan kepada dasar-dasar kebebasan sesuai dengan aliran liberal. Langkah-langkah yang diambil oleh Raffles dalam bidang pemerintahan dan ekonomi ialah sebagai diberikut.

1) Mengadakan penggantian sistem pemerintahan yang tiruanla dilakukan oleh penguasa pribumi dengan sistem pemerintahan kolonial ala Barat. Untuk megampangkan sistem manajemen pemerintahan, Pulau Jawa dibagi menjadi delapan belas karesidenan.
2) Para bupati dijadikan pegawai pemerintah sehingga mereka menerima penghasilan dan bukan lagi mempunyai tanah dengan segala hasilnya. melaluiataubersamaini demikian, mereka bukan lagi sebagai penguasa daerah, melainkan sebagai pegawai yang menjalankan kiprah atas perintah dari atasannya.
3) Menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi. Rakyat didiberi kebebasan untuk menanam tumbuhan yang dianggap menguntungkan.
4) Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial ialah pemilik tiruana tanah yang ada di tempat tanah jajahan. 

Oleh lantaran itu, Raffles menganggap para penggarap sawah ialah penyewa tanah pemerintah. Oleh lantaran itu, para petani mempunyai kewajiban membayar sewa tanah kepada pemerintah. Sewa tanah atau landrente ini harus diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk.

Sistem sewa tanah smacam itu oleh pemerintah Inggris dijadikan pegangan dalam menjalankan kebijaksanaan ekonominya selama berkuasa di Indonesia. Sistem ini kemudian juga diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda.


Sejak awal era ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan rakyat Belgia), maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung sumbangan yang sangat besar.

Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari ancaman kebrangkrutan maka Johguas van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan kiprah pokok menggali dana seterbaik mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar pinjaman, dan membiayai perang. 

Untuk melaksanakan kiprah berat itu, van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tumbuhan ekspor. Untuka itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melaksanakan penanaman tumbuhan yang hasil-hasilnya sanggup laris di pamasukan dunia dan dilakukan dengan sistem paksa. Sesudah datang di Indonesia (1830) van den Bosch menyusun jadwal kerja sebagai diberikut.

a. Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus lantaran pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya susah.
b. Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tumbuhan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
c. Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Apa yang dilakukan oleh van den Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan nama sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Sistem tanam paksa yang diajukan oleh van den Bosch intinya ialah adonan dari sistem tanam wajib ( VOC ) dan sistem pajak tanah (Raffles ).

Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari hukum pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris seterbaik mungkin. Oleh lantaran itu, sistem tanam paksa menimbulkan akhir sebagai diberikut.

a. Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)

1) Sawah ladang menjadi terbengkelai lantaran diwajibkan kerja rodi yang berkepantidakboleh sehingga penghasilan menurun drastis.
2) Beban rakyat semakin berat lantaran harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil pguannya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal pguan.
3) Akibat majemuk beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepantidakboleh.
4) Timbulnya ancaman kemiskinan yang makin berat.
5) Timbulnya ancaman kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di tempat Cirebon (1843), Demak (1849) dan Grobogan (1850). Kejadian ini menjadikan jumlah penduduk menurun drastis. Penyakit busung lapar (hongorudim) juga berkembang di mana-mana.

b. Bagi Belanda

Apabila sistem tanam paksa sudah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda berdampak sebagai diberikut.

1) Menhadirkan laba dan kemakmuran rakyat Belanda.
2) Hutang-pinjaman Belanda sanggup terlunasi.
3) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
4) Kas Negeri Belanda yang tiruanla kosong, sanggup terpenuhi.
5) Berhasil membangun Amsterdam menjadi kota sentra perdagangan dunia.
6) Perdagangan berkembang pesat.

Sistem tanam paksa yang menjadikan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khusunya Jawa, menimbulkan reaksi dari aneka macam pihak, ibarat golongan pengusaha, Baron Van Hoevel, dan Edward Douwes Dekker. Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa.

Sesudah tahun 1850, kaum Liberal memperoleh kemenangan politik di Negeri Belanda. Mereka juga ingin menerapkan asas-asas liberalisme di tanah jajahan. Dalam hal ini kaum Liberal beropini bahwa pemerintah semestinya tidak ikut campur tangan dalam duduk masalah ekonomi, kiprah ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta, dan biar kaum swasta sanggup menjalankan tugasnya maka harus didiberi kebebasan berusaha.

Sesuai dengan tuntutan kaum Liberal maka pemerintah kolonial segera mempersembahkan peluang kepada perjuangan dan modal swasta untuk menanamkan modal mereka dalam aneka macam perjuangan di Indonesia, terutama perkebunan-pekebunan di Jawa dan di luar Jawa. Selama periode tahun 1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Oleh lantaran itu masa ini sering disebut zaman Liberal. Selama masa ini kaum swasta Barat membuka perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh, gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur.

Selama zaman Liberal (1870–1900), usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan menhadirkan laba yang besar bagi pengusaha. Kekayaan alam Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya di Jawa sudah membawa kemerosotan kehidupan, dan kemunduran tingkat kesejahteraan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, ibarat diberikut.

1) Adanya pertumbuhan penduduk yang meningkat pada bad ke-19, sementara itu jumlah produksi pertanian menurun.
2) Adanya sistem tanam paksa dan kerja rodi yang banyak menimbulkan penyelewengan dan penyalahgunaan dari pihak pengusaha sehingga membawa korban bagi penduduk.
3) Dalam mengurusi pemerintahan di tempat luar Jawa, pemerintah Belanda mengerahkan beban keuangan dari tempat Jawa sehingga secara tidak eksklusif Jawa harus menanggung beban keuangan.
4) Adanya sistem perpajakan yang sangat memberatkan penduduk.
5) Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 yang menjadikan perusahaan- perusahaan mengadakan penghematan, ibarat menekan uang sewa tanah dan upah kerja baik di pabrik maupun perkebunan. 

Pada final era ke-19 muncullah Koreksi-Koreksi tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda dan praktik liberalisme yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat Indonesia.  Para pengKoreksi itu menganjurkan untuk memperbaiki rakyat Indonesia. Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (Perinstis/Pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berpinjaman Budi) sehingga dikenal politik etis atau politik balas budi. Gagasan van Deventer populer dengan nama Trilogi van Deventer.

Demikianlah Materi Pengaruh Revolusi Industri terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi, dan Politik di Indonesia, selamat belajar.
LihatTutupKomentar