-->

Tokoh Penyebar Islam Di Indonesia

Tokoh Penyebar Islam di Indonesia - Faktor yang paling penting dalam melaksanakan Islamisasi di Indonesia yaitu melalui perdagangan, ibarat dikemukakan oleh Wolters bahwa Indonesia ialah tempat yang sangat strategis sebagai tempat persinggahan dari bangsa-bangsa sebelah barat ibarat Persia, Arab, dan India yang hendak menuju ke timur, yaitu ke Indonesia, Cina, dan Jepang. 

Selain golongan pedagang, peranan para wali juga sangat penting dalam proses penyebaran tersebut. Snouck bahkan beropini bahwa peranan para ustad dan sultan sangat besar untuk memperkenalkan Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab dan mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. dengan menggunakan gelar Sayyid Syarif yang menjalankan dakwah dengan motif keagamaan.

Di Pulau Jawa, proses Islamisasi mempunyai satu kekhasan. Islamisasi di Jawa dilakukan oleh sekelompok mubalig Islam yang dikenal dengan sebutan walisongo. Wali arti harfiahnya yaitu orang yang akrab dengan Allah, sedangkan songo mengatakan jumlah yaitu sembilan. Kaprikornus walisongo artinya sembilan orang wali. 

 Faktor yang paling penting dalam melaksanakan Islamisasi di Indonesia yaitu melalui perd Tokoh Penyebar Islam di Indonesia
Walisongo
Ada pula yang mengartikan songo itu bukan angka sembilan dalam pengertian jumlah, tetapi mengatakan bahwa sembilan itu (songo) mengatakan angka yang sakral atau suci. Kaprikornus walisongo bisa diartikan pula dengan orang-orang (wali) yang disucikan, lantaran jumlah wali itu lebih dari sembilan. 

Walisongo sangat dihormati serta dimuliakan oleh orang-orang, terutama di pulau Jawa, bahkan para walisongo itu didiberi gelar Sunan atau Susuhunan artinya yang dijunjung tinggi atau gelar yang tinggi dan mulia.

Teknik yang dilakukan oleh walisongo dalam mengembangkan agama Islam sangat menarikdanunik. Mereka menggunakan metode-metode yang megampangkan pedoman Islam diterima oleh masyarakat luas dari banyak sekali golongan. Mereka menggunakan pendekatan kebudayaan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Para wali itu, antara lain sebagai diberikut.

a. Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim, sering pula disebut Maulana Maghribi, dan ada juga orang menyebutnya dengan sebutan Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim yaitu orang pertama mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). 

Dari beberapa sumber, ada yang sebut ia berasal dari Persia, ada juga yang sebut dari Turki, Arab, dan riwayat lain sebut ia berasal dari Gujarat. Tetapi pendapat yang lebih kuat ia berasal dari tanah Arab, tepatnya Maroko.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa (Kamboja). Ia berkeluargai putri Campa dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwahnya di negeri itu, pada tahun 1329 M, ia hijrah ke Pulau Jawa. Daerah pertama yang dituju yaitu Desa Sembalo (sekarang tempat Leran Kecamatan Manyar, 9 kilometer dari utara kota Gresik), tempat yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Meskipun ia bukan orang Jawa, namanya terkenal di kalangan masyarakat Jawa, alasannya yaitu ia yang menjadi pencetus penyebaran Islam di Jawa dengan sentra kegiatannya di Gresik, akrab Surabaya. Dalam proses dakwahnya kepada masyarakat, ia melakukannya dengan penuh hati-hati, bijaksana, dan mengadakan pendekatan personal pada masyarakat Jawa.

Kepercayaan sebelumnya yang dipegang oleh masyarakat tidak diperihal begitu saja. Ia memperkenalkan kecerdikan pekerti yang diajarkan Islam dengan tutur kata yang sopan, lemah lembut sehingga banyak penduduk Jawa yang tertarik memeluk agama Islam. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 Hijriah atau 9 April 1419 M dan dimakamkan di Gresik.

b. Sunan Ampel

Sunan Ampel nama aslinya Raden Rahmat, seorang kemenakan dari Raja Majapahit Kertawijaya. Menurut kisah rakyat, ia berasal dari Campa. Mengenai Campa ini ada dua pendapat, pertama Champa di Indochina, kedua Jeumpa di Aceh. Disebutkan ia yaitu anak dari Raja Cempa Ibrahim Asmarakandi (Maulana Malik Ibrahim) yang diutus ke Majapahit dan oleh Raja Majapahit diperkenankan tinggal dan menetap di Ampeldenta (Surabaya).

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama adiknya, Sayid Ali Murtadha. Tetapi sebelum hingga ke Jawa, ia singgah lampau di Palembang, kemudian berlabuh di tempat Gresik, dilanjutkan ke Majapahit untuk menemui bibinya yang berjulukan Dwarawati, seorang putri Campa yang dipersunting Raja Majapahit yang bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Pada tahun 1450, Raden Rahmat berkeluarga dengan Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban yang sudah memeluk agama Islam. Selanjutnya Raden Rahmat menetap di tempat Ampeldenta pemdiberian dari Raja Majapahit. Di sana Raden Rahmat mendirikan masjid dan membuka pondok pesantren, sehingga ia dikenal dengan Sunan Ampel. Sesuai dengan tugasnya, ia yaitu guru yang mengajarkan kecerdikan pekerti kepada para adipati, pembesar keraton, dan bagi masyarakat yang ingin berguru wacana keislaman. Pada pertengahan era ke-15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat kuat di wilayah Nusantara.

Ajaran Sunan Ampel yang terkenal yaitu falsafah Mo Limo, Mo artinya ora gelem (tidak mau) dan Limo artinya perkara lima. Kaprikornus maksud Mo Limo ialah tidak mau melaksanakan perkara lima yang terlarang, yaitu :

1) Emoh main (tidak mau judi)
2) Emoh ngumbih (tidak mau minum-minuman yang memabukkan)
3) Emoh madat (tidak mau minum atau menghisap candu atau ganja)
4) Emoh maling (tidak mau mencuri)
5) Emoh madon (tidak mau berzina)

Keberhasilan Sunan Ampel lainnya ialah melahirkan tokoh wali lainnya ibarat Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan putranya sendiri yang berjulukan Sunan Derajat dan Sunan Bonang. Keberhasilan yang lain, Sunan Ampel menjadi perencana Kerajaan Demak. Dialah yang melantik Raden Patah sebagai Sultan Demak yang pertama tahun 1403 Saka (1481 M). Pada tahun 900 Hijriyah (1494 M), Sunan Ampel wafat. Jena ahnya dimakamkan di Ampeldenta, Surabaya.

c. Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim lahir pada tahun 1450 M. Ia yaitu putra Sunan Ampel dari istrinya yang berjulukan Nyi Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang berguru agama dari pesantren ayahnya di Ampeldenta. Sesudah cukup dewasa, ia berkelana dan kemudian menetap di Bonang (sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Timur). Di tempat itulah Sunan Bonang mempunyai tempat acara dakwahnya yaitu di tempat Bonang, akrab Tuban. Di sana ia mendirikan pesantren yang kini dikenal dengan sebutan Watu Layar. Dari pondok pesantren itu, ia mengajar dan mengembangkan agama Islam.

Dari pesantrennya di Bonang (Tuban), agama Islam disebarkan ke tempat pantai, mulai Rembang hingga Surabaya. Dari hasil survei di lapangan, ternyata rakyat Tuban lebih banyak didominasi menyukai lagu-lagu gending gamelan. Untuk itu dalam melaksanakan dakwah kepada masyarakat, ia menggunakan kesenian rakyat yang disebut bonang. Ia menabuh bonang diiringi dengan lagu-lagu berupa pantun yang bernapaskan keagamaan. Sunan Bonang berhasil menggubah lagu gending sekaten dan tembang mocopat yang hingga kini tembang itu terkenal di kalangan masyarakat Jawa.

Tidak ibarat Sunan Giri yang lugas dalam fiqih, pedoman Sunan Bonang berusaha memadukan pedoman ahlusunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fiqih, usuluddin, tasawuf, seni, sastra, dan arsitektur. Ajarannya diberintikan pada filsafat isyq (cinta). Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan, dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikan secara terkenal melalui media kesenian. Pada tahun 1525 M, Sunan Bonang wafat dan dimakamkan di tempat Tuban.

d. Sunan Derajat

Sunan Derajat nama gotong royong yaitu Masih Munat, putra dari Sunan Ampel, saudara dari Sunan Bonang. Dalam melaksanakan acara dakwahnya, ia mengambil cara ayahnya, terutama dalam mengajarkan tauhid dan akidah, yaitu secara eksklusif dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Walaupun demikian, cara penyampaiannya menggunakan alat kesenian dengan menabuh seperangkat gamelan, sebagaimana dilakukan oleh Sunan Muria. Sunan Derajat mengubah sejumlah suluk, di antaranya suluk petuah. Ia juga membuat lagu gending pangkur yang hingga kini lagu itu masih banyak digemari oleh masyarakat Jawa. Pusat acara dakwahnya di tempat Sedayu, Jawa Timur.

Sunan Derajat dikenal dengan acara sosialnya. Ia dikenal sebagai seorang yang bersahaja yang suka menolong sesama. Dialah wali yang memelopori penyantunan belum dewasa yatim, fakir miskin, dan orang sakit. Sunan Derajat wafat pada pertengahan era ke-15 dan dimakamkan di Sedayu, Gresik (Jawa Timur).

e. Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku. Ia yaitu putra dari Maulana Ishak dari Blambangan, yang juga sahabat akrab Sunan Ampel. Raden Paku berteman akrab dengan Makhdum Ibrahim, dan keduanya oleh Sunan Ampel disuruh pergi haji ke Mekkah sambil menuntut ilmu. Keduanya juga pernah menimba ilmu di Pasai (Aceh).

melaluiataubersamaini menolongan masyarakat Gresik, Sunan Giri mendirikan pesantren di tempat Giri. Atas ketekunan dan kesungguhannya, pesantren itu bukan spesialuntuk sebagai tempat pendidikan dalam artian sempit, tetapi juga sebagai sentra pengembangan masyarakat. Dalam waktu tiga tahun, pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara, sehingga banyak anakdidik-anakdidiknya yang hadir dari Madura, Kalimantan, Makassar, Lombok, dan seluruh Jawa. Raja Majapahit sendiri memdiberi keleluasaan kepadanya untuk mengatur pemerintahan lantaran khawatir ia melaksanakan pemberontakan. Kemudian pesantren itu pun berubah menjadi salah satu sentra kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.

Ketika Raden Fatah lepas dari imbas kekuasaan Majapahit, Sunan Giri diangkat menjadi penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Banyak mubalig dari pesantren Giri yang dikirim ke Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri dikenal lantaran pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqih.

Orang pun menyebutnya Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Gending Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan pedoman Islam yaitu salah satu karya Sunan Giri. Sunan Giri wafat pada tahun 1600 M dan dimakamkan di atas Bukit Giri, akrab Gresik.

f. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga atau Raden Jaka Said. Ia yaitu putra seorang Adipati Tuban yang berjulukan Tumenggung Wilatikta. Sejak kecil, dalam diri Raden Jaka Said sudah tampak jiwa luhur yang ditandai dengan selalu taat kepada agama dan berbakti kepada orang tua, serta mempunyai perilaku welas asih kepada tiruana orang. Ia menjadi anakdidik Sunan Bonang, kemudian berkeluarga dengan putri Maulana Ishak. Berbeda dengan para wali lain, Sunan Kalijaga menjadi mubalig keliling dan tidak mempunyai sentra dakwah yang tetap.

Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang kulit yang sangat digemari masyarakat semenjak kondusif Hindu. Kisah Mahabharata yang melandasi kisah wayang diadaptasi biar tidak berperihalan dengan pedoman Islam. Penggunaan wayang sebagai alat dakwah ini ternyata memdiberi kegampangan dalam meluaskan penyebaran Islam ke masyarakat.

Sunan Kalijaga sebagai Mubalig yang andal seni, andal filsafat, dan kebudayaan mempunyai beberapa karya seni hasil ciptaannya antara lain orang pertama yang merancang baju takwa, membuat lagu Dandang Gula dan Semarangan, membuat seni ukir bermotif dedaunan, membuat bedug di masjid, memprakarsai Gerebeg Maulud, membuat Gong Sekaten, dan membuat kreasi gres wayang menjadi karikatur, digambar dan diukir pada kulit binatang. Pada pertengahan era ke-15, Sunan Kalijaga wafat dan di makamkan di tempat Kadilangu, akrab Demak.

g. Sunan Kudus

Sunan Kudus atau Jafar Sadiq. Ia yaitu salah seorang panglima tentara Demak. Kemudian ia mengembara ke Tanah Suci, Mekkah untuk memperdalam agama Islam. Sekembali dari Mekkah, ia mendirikan sentra keagamaan yang didiberi nama Kudus, diambil dari nama al-quds (Palestina), sehingga ia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Sunan Kudus ialah banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke banyak sekali tempat tandus di Jawa Tengah ibarat Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Teknik dakwahnya pun menggandakan Sunan Kalijaga yaitu toleran pada budaya setempat. Teknik Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus yaitu dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu-Buddha. 

Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Sunan Kudus seorang yang andal dalam bidang tauhid, hadis, fiqih dan lainnya. Ia juga terkenal sebagai pujangga yang mengarang kisah pendek yang berfalsafah dan bernapaskan keagamaan.

Semasa hidupnya, ia mengajarkan agama Islam di sekitar pesisir utara Jawa Tengah di tempat Kudus. Selain sebagai seorang wali, Sunan Kudus juga menjabat sebagai Senopati Demak. Peninggalan yang termasyhur yaitu Masjid Kudus. Menaranya berbentuk candi, dan sering disebut Masjid Menara. 

Pada mihrab masjid ini tercantum tahun pelantikan masjid, yaitu 956 Hijriah (1549 M). Dalam bidang kesenian ia dikenal sebagai pencipta Gending Asmarandana. Pada tahun 1550, Sunan Kudus wafat dan dimakamkan di tempat Kudus, Jawa Tengah.

h. Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Prawoto atau Raden Umar Said, yaitu putra Sunan Kalijaga dari istrinya yang berjulukan Dewi Sorah. Dewi Sorah yaitu adik kandung Sunan Giri. Gaya berdakwah Sunan Muria ibarat ayahnya, Sunan Kalijaga. Tetapi ia lebih menyukai tinggal di tempat terpencil, jauh dari kota. Pusat kegiatannya di lereng Gunung Muria (Jawa Tengah). Ia banyak bergaul dengan rakyat jelata. Sambil bercocok tanam, berladang, dan berdagang, ia mengajarkan agama Islam. Selain itu, Sunan Muria berdakwah dengan menggunakan media kesenian rakyat yaitu berupa gamelan. Ia membuat gending sinom dan kinanti.

Sunan Muria sering berperan juga di Kesultanan Demak sebagai penengah dalam konflik istana. Ia dikenal sebagai pribadi yang bisa memecahkan banyak sekali dilema betapa pun rumitnya. Solusi pemecahannya pun selalu sanggup diterima oleh tiruana pihak yang berseteru. Beliau wafat pada tahun 1560 M dan dimakamkan di atas Gunung Muria.

i. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati lantaran sentra acara dakwahnya berada di tempat Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Pada tahun 1570 M, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, Cirebon.

Sesudah Walisongo, proses penyebaran agama Islam diteruskan oleh para ulama yang peranannya sama dengan para wali. Para ulama itu tersebar di banyak sekali pelosok tanah air, antara lain sebagai diberikut.

1) Tokoh ulama dari Jawa
a) Syekh Bentong dengan tempat dakwah di Gunung Lawu
b) Sunan Bayat yang banyak mengembangkan Islam di tempat Klaten dan sekitarnya
c) Syekh Majagung, Sunan Prapen, dan Sunan Sendang yang berperan dalam pendidikan pondok pesantren di tempat Jawa

2) Tokoh ulama dari luar Jawa
a) Datuk Ri Bandang yang mengembangkan agama Islam di tempat Makassar
b) Datuk Sulaeman yang mengembangkan agama Islam di tempat Sulawesi
c) Tuan Tunggang Parangang dan Penghulu Demak yang mengembangkan Islam di Kalimantan.

Demikianlah Materi Para Tokoh Penyebar Islam di Indonesia, semoga bermanfaa.
LihatTutupKomentar