#Sejarah_Kelas_11 Pengertian dan Sejarah Tanam Paksa (Cultuurstelsel )
Tanam Paksa atau Cultuurstelsel ialah sistem yang bertujuan dan bermanfaa bagi Belanda, Tanam Paksa yaitu Peraturan Mempekerjakan seseorang dengan paksa tanpa didiberi penghasilan dan tanpa istirahat, sehingga sangat merugikan pekerja dan menyengsarakan. Sistem Tanam Paksa sudah menjadi sejarah bagi Rakyat indonesia.
Sejak awal kurun ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung santunan yang sangat besar.
Sejak awal kurun ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung santunan yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari ancaman kebrangkrutan maka Johguas van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan kiprah pokok menggali dana seterbaik mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar pinjaman, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan kiprah yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi flora ekspor.
Oleh lantaran itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melaksanakan penanaman flora yang hasil-hasilnya sanggup laris di pamasukan dunia secara paksa. Sesudah datang di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun agenda sebagai diberikut.
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus lantaran pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya susah.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis flora yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch intinya ialah adonan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai diberikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami flora yang laris di pamasukan dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil flora itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam dihentikan melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan pguanan menjadi tanggung tanggapan pemerintah.
6) Wajib tanam sanggup diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan flora di bawah pengawasan eksklusif oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang didiberikan kepada penguasa pribumi menurut besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, kesannya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai diberikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, lantaran seluruh desa dianggap rindang untuk flora wajib.
2) Kegagalan pguan menjadi tanggung tanggapan petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang diharapkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah.
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari hukum pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris seterbaik mungkin. Oleh lantaran itu, sistem tanam paksa menimbulkan akhir sebagai diberikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai lantaran diwajibkan kerja rodi yang berkepantidakboleh sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat lantaran harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil pguannya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal pguan.
c) Akibat majemuk beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepantidakboleh.
d) Timbulnya ancaman kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya ancaman kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis.
Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di tempat Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa sudah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai diberikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-pinjaman Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang tiruanla kosong sanggup terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota sentra perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari banyak sekali pihak, menyerupai diberikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia yaitu seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akhir tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Sesudah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut biar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia yaitu seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akhir tanam paksa. melaluiataubersamaini nama samaran Multatuli yang berarti "aku sudah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akhir tanam paksa dalam dongeng Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus yaitu kopi pada tahun 1917 lantaran paling banyak mempersembahkan keuntungan.
f. Sistem Usaha Swasta
Sesudah tahun 1850, kaum liberal memperoleh kemengangan politik di Negeri Belanda. Mereka juga ingin menerapkan asas-asas liberalisme di tanah jajahan. Dalam hal ini kaum liberal beropini bahwa pemerintah semestinya tidak ikut campur tangan dalam duduk perkara ekonomi; kiprah ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta; biar kaum swasta sanggup menjalankan tugasnya maka harus didiberi kebebasan berusaha.
Sesuai dengan tuntutan kaum liberal maka pemerintah kolonial segera mempersembahkan peluang kepada perjuangan dan modal swasta untuk menanamkan modal mereka dalam banyak sekali perjuangan di Indonesia, terutama perkebunan-perkebunan di Jawa dan di luar Jawa. Selama periode tahun 1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Itu sebabnya zaman itu sering disebut zaman Liberal. Selama masa Liberal, kaum swasta Barat aktif membuka perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh, gula, dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur.
Pembukaan perkebunan besar itu sanggup dilakukan dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870. Adapun tujuannya ialah sebagai diberikut.
1) Untuk melindungi hak milik petani-petani pribumi atas tanahnya, dari penguasaan orang-orang asing.
2) Peluang kepada para pengusaha absurd untuk sanggup menyewa tanah dari rakyat Indonsia.
melaluiataubersamaini demikian, para pengusaha spesialuntuk sanggup diperbolehkan menyewa tanah-tanah petani dalam jangka waktu tertentu dan dihentikan membelinya.
Dalam Undang-Undang Agraria juga sudah disebutkan bahwa tanah yang boleh disewa digolongkan menjadi dua macam.
1) Tanah milik negara, yaitu tanah-tanah yang tidak secara eksklusif menjadi milik penduduk pribumi ( di luar wilayah desa). Tanah ini sanggup disewa selama 75 tahun.
2) Tanah milik penduduk pribumi, contohnya sawah, ladang, dan yang homogen yang dimiliki eksklusif oleh penduduk desa. Tanah ini sanggup disewa dalam jangka waktu 5 tahun atau hingga dengan 30 tahun.
Harapan kaum liberal untuk membuka tanah jajahan bagi perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata sanggup tercapai. Perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya diusahakan secara luas dan meningkat secara cepat. Untuk memperlancar perkembangan produksi flora ekspor maka pemerintah membangun waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi.
Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari tempat pedalaman ke tempat pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke luar.
Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari tempat pedalaman ke tempat pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke luar.
Selama zaman Liberal (1870–1900), usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan menhadirkan laba yang besar bagi pengusaha. Kekayaan alam Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya di Jawa sudah membawa kemerosotan kehidupan dan kemunduran tingkat kesejahteraan. Hal ini sangat terasa semenjak adanya krisis perkebunan tahun 1885 yang mengakibatkan uang sewa tanah dan upah pekerja di pabrik serta perkebunan menurun.
Pada simpulan kurun ke-19, muncullah Koreksi-Koreksi tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda akhir praktik liberalisme yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat Indonesia. Para pengKoreksi menganjurkan untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia.
Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berpinjaman Budi) sehingga dikenal dengan nama politik etis atau politik balas budi. Gagasan Van Deventer populer dengan nama Trilogi Van Deventer yang isinya sebagai diberikut.
Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berpinjaman Budi) sehingga dikenal dengan nama politik etis atau politik balas budi. Gagasan Van Deventer populer dengan nama Trilogi Van Deventer yang isinya sebagai diberikut.
1) irigasi atau pengairan (memperbaiki pengairan);
2) emigrasi atau pemindahan penduduk atau transmigrasi;
3) edukasi atau pendidikan (memajukan pendidikan).
Demikianlah Materi Pengertian dan Sejarah Tanam Paksa (Cultuurstelsel ), semoga bermanfaa.