#Sosiologi_Kelas_11 Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural Dilihat secara Horizontal - Masyarakat multikultural terdiri atas lebih dari dua kelompok masyarakat yang mempunyai perbedaan karakteristik yang didorong oleh latar belakang sejarah, kondisi geografis, dan efek kebudayaan asing.
Merujuk pada pengertian masyarakat multikultural yang sudah kita pelajari bersama pada subpokok bahasan sebelumnya, sanggup kita lihat bahwa masyarakat multikultural ialah bentuk keguakaragaman kelompok yang sanggup dilihat dari ciri-ciri tertentu.
Merujuk pada pengertian masyarakat multikultural yang sudah kita pelajari bersama pada subpokok bahasan sebelumnya, sanggup kita lihat bahwa masyarakat multikultural ialah bentuk keguakaragaman kelompok yang sanggup dilihat dari ciri-ciri tertentu.
Menurut Pierre L. Van den Berghe, ada beberapa karakteristik masyarakat multikultural, di antaranya ialah sebagai diberikut.
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok yang seringkali mempunyai subkebudayaan yang tidak sama satu dengan yang lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
3. Kurang berbagi konsensus di antara para anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4. Secara relatif seringkali mengalami konflik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.
5. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Dari karakteristik masyarakat multikultural yang dikemukakan oleh Pierre L. Van den Berghe tersebut, masyarakat di Indonesia sanggup digolong-golongkan dengan memakai tolok ukur secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal atau lazim disebut dengan diferensiasi sosial ciri masyarakat multikultural didasarkan pada keguakaragaman ras, suku bangsa, dan agama.
Sementara itu, secara vertikal atau lazim disebut dengan stratifikasi sosial, ciri masyarakat multikultural di antaranya sanggup dilihat dari tolok ukur kriteria ekonomi, sosial, politik, dan masyarakat feodal. Penggolongan masyarakat Indonesia yang multikultural ini sekaligus menawarkan adanya banyak sekali kelompok sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
Sementara itu, secara vertikal atau lazim disebut dengan stratifikasi sosial, ciri masyarakat multikultural di antaranya sanggup dilihat dari tolok ukur kriteria ekonomi, sosial, politik, dan masyarakat feodal. Penggolongan masyarakat Indonesia yang multikultural ini sekaligus menawarkan adanya banyak sekali kelompok sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
Secara horizontal, masyarakat Indonesia yang multikultural sanggup dilihat dari ciri-ciri yang didasarkan pada ras, suku bangsa, dan agama.
Dalam hidup bermasyarakat, perbedaan ciri-ciri fisik (ras) antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain tidak dipandang sebagai perbedaan yang mengistimewakan kelompok dengan ciri fisik (ras) tertentu dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal ini alasannya ialah masyarakat kita tidak menganut paham rasialisme atau diskriminasi ras atas ras yang lain. Perbedaan ras lebih dipandang sebagai diferensiasi sosial, bukan stratifikasi sosial.
Menurut A. L. Kroeber Sebagian besar masyarakat di Indonesia termasuk dalam golongan ras Mongoloid, lebih khusus lagi Malayan Mongoloid. Dari ras tersebut, sanggup digolongkan lagi menjadi beberapa subras untuk mengelompokkan masyarakat di Indonesia, yaitu subras Protomelayu dan Deutromelayu.
1) Subras Protomelayu (Melayu Tua) ialah subras yang pertama kali mendiami wilayah Nusantara ini. Atau sanggup dikatakan subras yang pertama ada. contohnya suku Batak, Nias, Kubu, Dayak, dan Toraja.
2) Subras Deutromelayu (Melayu Muda) ialah subras penhadir setelah subras Protomelayu. contohnya suku Jawa, Bali, Sunda, Madura, Minang, dan Bugis.
Di samping itu, di Indonesia juga tinggal ras atau subras lainnya, yaitu Papua Melguasoid, Negrito, Asiatic Mongoloid, Weddoid, dan Caucasoid.
1) Subras Papua Melguasoid, termasuk dalam ras Negroid yang umumnya mendiami Pulau Papua, Pulau Aru, dan sekitarnya.
2) Subras Negrito, termasuk dalam ras Negroid pula, mencakup orang Semang di Semenanjung Malaka, dan orang Mikopsi di Pulau Andaman.
3) Subras Asiatic Mongoloid, yaitu etnis Cina yang tersebar di beberapa kepulauan di Indonesia.
4) Subras Weddoid, mencakup orang Sakai di Riau, orang Tomuna di Pulau Muru, orang Kubu di Sumatra Selatan, orang Mentawai di kepulauan Mentawai, dan suku Kulawi di Sulawesi Selatan.
5) Subras Caucasoid, mencakup orang-orang keturunan Arab, India, Pakistan, dan beberapa keturunan orang Eropa.
Masyarakat multikultural di Indonesia ditandai juga dengan adanya keguakaragaman suku bangsa (etnis). Etnis ialah suatu golongan insan yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan identitas tersebut akan dikuatkan oleh kesatuan bahasa.
Menentukan persebaran suku bangsa di Indonesia tidaklah gampang. Merujuk dari pendapat R. Naroll dan J.A. Cllifton, Koentjaraningrat sebut ada beberapa prinsip yang sanggup dipakai untuk memilih batas-batas persebaran suku bangsa, termasuk kebudayaan-kebudayaan yang dimilikinya.
Prinsip-prinsip tersebut ialah sebagai diberikut.
1) Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.
2) Kesatuan masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu logat bahasa.
3) Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu kawasan politikal administratif.
4) Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri.
5) Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografis yang ialah kesatuan kawasan fisik.
6) Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi.
7) Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalam satu pengalaman sejarah yang sama.
8) Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu dengan yang lain tinggi.
9) Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam.
Menurut beberapa ahli, tunjangan suku bangsa yangtersebar di seluruh Indonesia sanggup digambarkan sebagai diberikut.
Suku Bangsa di Indonesia
Dari beberapa suku bangsa di Indonesia menyerupai yang tersebut di atas bergotong-royong masih sebagian kecil dari keseluruhan suku bangsa yang ada. Hal ini membuktikan bahwa persebaran suku bangsa atau etnis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan alam menyerupai kondisi geografis, iklim, dan kerindangan tanah. Faktor-faktor tersebut akan memengaruhi pola pembiasaan masyarakat dengan tujuan untuk mempertahankan hidup.
Namun demikian, terlepas dari hal itu tiruana, keragaman suku bangsa di Indonesia menunjukan bahwa bangsa kita ialah masyarakat yang multikultural.
Di negara kita terdapat beberapa agama yang hidup berdampingan satu sama lain. Setidaknya ada enam agama besar yang ada dan diakui keberadaannya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, serta Kong Hu Chu. Di samping itu terdapat pula aliran kepercayaan yang keberadaannya diakui pula oleh masyarakat. Tidak sedikit masyarakat kita juga menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di luar agama yang sudah ada.
Untuk lebih jelasnya, diberikut ini akan kita bahas bersama keguakaragaman agama dikaitkan dengan suku bangsa yang ada di Indonesia sebagai citra untuk megampangkan dalam memahami kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
1) Suku Jawa
Agama resmi yang dianut oleh masyarakat Jawa ialah Islam, Katolik, Kristen Protestan, sebagian kecil Hindu dan Buddha, serta beberapa penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di Jawa, dianut dua istilah terkena agama Islam, yaitu Islam santri dan Islam kejawen (abangan). Islam santri ialah penganut yang
patuh dan teratur dalam menjalankan ajaran-ajarannya, sedangkan Islam kejawen tidak teratur dalam menjalankan anutan agamanya, tetapi percaya kepada kekuatan anutan keimanan agama Islam.
Kehidupan orang Jawa, meskipun sudah memeluk salah satu agama yang pasti, namun tidak pernah luput dari efek animisme dan dinamisme. Dua bentuk kebudayaan itu sudah ada sebelum agama-agama besar tersebut masuk ke Indonesia. Animisme ialah kepercayaan akan adanya kekuatan roh nenek moyang yang ada di alam semesta, sedangkan dinamisme ialah kepercayaan akan benda-benda mistik yang mempunyai kekuatan tertentu.
2) Suku Mentawai
Pada suku bangsa ini, sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Kristen dan Katolik, serta sebagian kecil memeluk agama Islam. Meskipun sudah mengenal agama-agama tersebut, masyarakat Mentawai masih menganut nilai-nilai tradisi usang yang cukup mengakar besar lengan berkuasa dalam kehidupan mereka menyerupai pada konsepsi terkena roh dan jiwa diberikut ini.
a) Ketsat, yaitu kesaktian dari roh nenek moyang.
b) Sabulangan, yaitu makhluk halus yang melepaskan diri dari badan insan yang meninggal dan pergi ke dunia roh atau yang hidup di sekitar tempat tinggal insan dalam bumi, air, udara, pohon besar, hutan, dan tempat-tempat lainnya.
c) Simagere, yaitu jiwa yang menimbulkan orang hidup.
d) Kere, yaitu kekuatan sakti.
e) Kina, yaitu roh yang tinggal dalam rumah dan melindungi rumah.
f) Sanitu, yaitu roh-roh jahat yang suka mengganggu orang dan membawa penyakit, serta bencana.
g) Taikamanua, yaitu pemimpin dari negara roh.
3) Suku Batak
Sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, serta sebagian kecil beragama Islam. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa konsepsi yang bersumber dari nilai-nilai tradisi masyarakat setempat berkaitan dengan religi mereka, di antaranya ialah sebagai diberikut.
a) Konsepsi Mengenai Pencipta
Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam dan segala isinya ini diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi na Bolon (Dibata Kaci-Kaci dalam bahasa Karo). Ia tinggal di atas langit dan mempunyai nama lain sesuai dengan kiprah dan tempat kedudukannya.
Penguasa dunia tengah yang bertempat tinggal di dunia ini berjulukan Silaon na Bolon (Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo), sedangkan penguasa dunia
makhluk halus berjulukan Pgua na Bolon (Toba) atau Tuan Banus Koling (Karo). Selain itu juga dikenal penguasa matahari yang disebut dengan Sinimataniari, serta penguasa bulan dan pelangi yang disebut dengan Beru Dayang.
b) Konsepsi Mengenai Jiwa, Roh, dan Dunia Akhirat Ada tiga konsep yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu tondi, sahala, dan begu.
(1) Tondi ialah kekuatan yang memdiberi hidup kepada bayi (calon manusia) dan terdapat pada tiruana orang tanpa kecuali.
(2) Sahala ialah kekuatan yang memilih wujud dan jalan hidup seseorang. Sahala ini tidak sama-beda bagi tiap orang dalam jumlah dan kualitasnya.
(3) Begu ialah kekuatan yang memdiberi hidup pada orang yang sudah meninggal.
4) Suku Nias
Orang-orang Nias sebagian besar memeluk agama Kristen Protestan. Agama lain yang dipeluk oleh orang Nias ialah Islam, Katolik, Buddha, dan Pelebegu. Pelebegu ialah nama agama orisinil yang didiberikan oleh penhadir yang berarti penyembah roh. Nama yang didiberikan oleh penganutnya sendiri ialah Molohe Adu (penyembah adu).
Dewa-dewa terpenting dalam Pelebegu ialah sebagai diberikut.
a) Lowelangi, yaitu raja segala tuhan dari dunia atas.
b) Latura Dano, yaitu raja tuhan dunia bawah dan saudara bau tanah Lowelangi.
c) Silewe Nasarata, yaitu istri Lowelangi yang berperan sebagai pelindung pada ere (pemeluk agama).
5) Suku Bugis–Makasar
Untuk suku Bugis dan Makassar ini, sebagian besar dan hampir seluruhnya ialah pemeluk agama Islam yang taat. Namun demikian, masyarakat Bugis–Makassar yang tinggal di kawasan pedesaan masih terikat sistem norma etika yang masih sakral yang keseluruhannya mereka sebut sebagai penggaorreng (panggadakkang dalam bahasa Makassar). Sistem ini terdiri dari lima unsur pokok dari ayat keramat tersebut yang terjalin satu sama lain sebagai satu-kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis-Makassar.
Kelima unsur pokok itu ialah ade’, bicara, rapang, wari’, dan sara’.
a) Ade’, secara khusus terdiri dari Ade’akkalabinengeng dan Ade’tana.
(1) Ade’akkalabinengeng ialah norma terkena hal-hal perkawinan dan mengatur segala urusan kekerabatan.
(2) Ade’tana ialah norma terkena hal wacana kenegaraan dan memerintah negara.
b) Bicara, yaitu unsur yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan duduk masalah peradilan.
c) Rapang, berarti contoh, perumpamaan, kiasan, atau analogi. Rapang berwujud perumpamaan yang mempunyai maksud menjaga kelangsungan tertib sosial dalam masyarakat.
d) Wari’, yaitu bab yang melaksanakan penjabaran dari denda, peristiwa, dan acara masyarakat.
e) Sara’, yaitu bab yang mengatur pranata-pranata dan aturan Islam, serta sanggup melengkapi keempat unsur lainnya.
Pada masa pra-Islam, orang Bugis–Makassar ini sudah mempunyai religi menyerupai yang tampak dari Sure’Galigo, yang bergotong-royong sudah mengandung kepercayaan kepada satu tuhan yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama, menyerupai Patoto-e (yang memilih nasib), Dewata Seuwa-e (Dewa yang tunggal), dan Turie a’rana (kehendak tertinggi).
Demikianlah Penjelasan Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural Dilihat secara Horizontal, selanjutnya baca juga Materi Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural Dilahat Secara Vertikal, biar bermanfaa.