-->

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial Dan Budaya)

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya) - Sejarah Indonesia mengenal dua Kerajaan Mataram, yaitu Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan Mataram Islam yang ialah cikal bakal Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Kedua kerajaan itu tidak sama dalam hal agama dan dinasti, namun kedua-duanya berkembang pada kawasan yang sama yaitu di Jawa Tengah dan Yogyakarta.


Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai kerajaan yang toleran dalam hal beragama. Sebab, di Kerajaan Mataram Lama berkembang agama Buddha dan Hindu secara berdampingan. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. 

Berdasarkan interpretasi terhadap prasasti-prasasti bahwa kedua dinasti itu saling bersaing berebut dampak dan adakala memerintah bersama-sama. Asal usul Dinasti Sanjaya tercantum dalam prasasti Canggal (732 M) yang sebut bahwa Sanjaya ialah keponakan Sanna (anak dari Sannaha). Dinasti Syailendra sendiri tercantum dalam prasasti Sojomerto (tidak berangka tahun), isinya menceritakan tentang Dapuntahyang Syailendra.

 Sejarah Indonesia mengenal dua Kerajaan Mataram Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya)Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M), terletak di atas Gunung Wukir, Kecamatan Salam Magelang, diketahui bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya ialah Sanjaya yang memerintah di ibu kota berjulukan Medang. Prasasti itu juga menceritakan tentang pendirian sebuah lingga (lambang tuhan Syiwa) di atas bukit di wilayah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya pada tanggal 6 Oktober 732. 

Disebutkan juga tentang Pulau Jawa yang rindang dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang emas, yang mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Sesudah Raja Sanna meninggal, ia digantikan oleh Raja Sanjaya, anak saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya ialah seorang raja yang gagah berani yang sudah menaklukkan raja di sekelilingnya dan mengakibatkan kemakmuran bagi rakyatnya . Menurut Carita Parahyangan (buku sejarah Pasundan), disebutkan Sanna berasal dari Galuh (Ciamis).

Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti Kalasan (778 M) yang terdapat di sebelah timur Yogyakarta. Dalam prasasti itu disebutkan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Hal itu menyampaikan bahwa raja-raja keturunan Sanjaya termasuk keluarga Syailendra.

Prasasti Kedu ( Prasasti Mantyasih ) berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu dibentuk pada masa Raja Rakai Dyah Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram yaitu sebagai diberikut.

1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
5. Sri Maharaja Rakai Garung
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.

Menurut prasasti Kedu sanggup diketahui bahwa Raja Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. Selanjutnya salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang berjulukan Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Panangkaran pada tahun 778. Sejak ketika itu, Kerajaan Mataram dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Syailendra.

Tahun 778 hingga dengan tahun 856 sering disebut sebagai pemerintahan selingan. Sebab, antara Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti Syailendra yang beragama Buddha membuatkan Kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah pecahan selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu membuatkan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah pecahan Utara.

Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mendirikan candi Prambanan dan Loro Jonggrang berdasarkan model candi-candi Syailendra. Masa pemerintahan raja-raja Mataram setelah Dyah Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya. Yang sanggup diketahui ialah nama-nama raja yang memerintah, yakni, Daksa (913-919), Wawa (919-924), Tulodhong (924-929), hingga Mpu Sindok pada tahun 929 M memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti gres yaitu Dinasti Isanawangsa.


Raja-raja wangsa Sanjaya, menyerupai dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai diberikut.

1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M) 

Raja ini ialah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Sesudah wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.

2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)

Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha atas undangan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra. 

Ini menyampaikan bahwa pada masa pemerintahan raja ini hadirlah dinasti Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.

3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)

4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)

Dua raja ini tidak mempunyai tugas yang berarti, mungkin lantaran kurang cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram. Sesudah Raja Warak turun takhta bahwasanya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun lantaran kedudukannya spesialuntuk bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.

5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)

Raja ini diberistana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (terkena Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).

6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)

Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia memakai nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang sebut nama Pikatan sebagai diberikut.

a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, sebut bahwa Pikatan ialah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan sebut nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. 

Diduga goresan pena tersebut ialah catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga ialah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari dinasti Syailendra. Mengenai ijab kabul mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.

Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti diberikut.

1) Prasasti Pereng (862 M), isinya terkena penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.

2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah

(1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud ialah candi Prambanan;
(3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).

3) Prasasti Ratu Boko, meliputi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud ialah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibentuk raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai tuhan tertinggi atau paling berkuasa).

Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang ketika itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan memakai strategi berkeluargai Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.

7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)

Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi ialah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti diberikut.

a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan erat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya, sebut gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), sebut Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.

Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dimenolong oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.

8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)

Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya hingga masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama. 

Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu ialah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin lantaran masa pemerintahannya terlalu singkat atau lantaran Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)

Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur. Dyah Balitung memakai beberapa nama:

a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai diberikut.
a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia sanggup naik takhta lantaran kegagahberaniannya dan lantaran perkawinannya dengan putri Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.

Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung ialah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu ialah tritunggal dan terus digunakan hingga zaman Kerajaan Majapahit.

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.


Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), hadirlah dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat terkena asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens beropini bahwa dinasti Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes beropini bahwa dinasti Syailendra berasal dari Funan.

Dinasti ini kemudian berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pepegununganan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah pecahan utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah pecahan selatan.

Sumber-sumber sejarah terkena keberadaan dinasti Syailendra sebagai diberikut.
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)

Raja-raja dinasti Syailendra sebagai diberikut.

1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia ialah raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), erat Salatiga.

2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.

a) Prasasti Ligor B sebut nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan tuhan Kama. Disebutkan pula gelar yang didiberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.

b) Prasasti Kalasan (778 M) sebut desakan dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.

c) Prasasti Ratu Boko (778 M) sebut nama Raja Dharmatunggasraya.

3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang sebut pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang meliputi beberapa aspek Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Sesudah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain candi ini ialah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata tuhan Indra.

4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini ialah raja terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula terkena pendirian bangunan Jimalaya (candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.

Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur yang ialah candi besar agama Buddha. Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.


Letak kerajaan Mataram yang terisolasi mengakibatkan perekonomian kerajaan itu susah untuk berkembang dengan baik. Selain itu, transportasi dari pesisir ke pedalaman susah untuk dilakukan lantaran keadaan sungainya. melaluiataubersamaini demikian, perekonomian rakyat banyak yang mengandalkan sektor agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan internasional. melaluiataubersamaini keadaan tersebut, masuk akal jika Raja Kayuwangi berusaha untuk memajukan sektor pertanian, lantaran dengan sektor inilah, perekonomian rakyat sanggup dikembangkan.

Berdasarkan prasasti Purworejo (900 M) disebutkan bahwa Raja Belitung memerintahkan pendirian pusat-pusat perdagangan. Pendirian pusat-pusat perdagangan tersebut dimaksudkan untuk membuatkan perekonomian masyarakat, baik di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, dimaksudkan biar menarikdanunik para pedagang dari kawasan lain untuk mau berdagang di Mataram.

Prasasti Wonogiri (903 M) menceritakan tentang dibebaskannya desa-desa di kawasan pinggiran sungai Bengawan Solo apabila penduduk setempat bisa menjamin kelancaran kemudian lintas di sungai tersebut. Terjaminnya masukana pengangkutan atau transportasi ialah kunci untuk membuatkan perekonomian dan membuka kekerabatan dagang dengan dunia luar. melaluiataubersamaini demikian, usaha-usaha membuatkan sektor perekonomian terus diusahakan oleh raja Mataram demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.


Struktur sosial masyarakat Mataram Kuno tidak begitu ketat, lantaran seorang Brahmana sanggup menjadi seorang pejabat menyerupai seorang ksatria, ataupun sebaliknya seorang Ksatria bisa saja menjadi seorang pertapa. Dalam masyarakat Jawa, populer dengan kepercayaan bahwa dunia insan sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem kosmologi). melaluiataubersamaini demikian, segala yang terjadi di alam semesta ini akan kuat pada kehidupan manusia, begitu pula sebaliknya. 

 Sejarah Indonesia mengenal dua Kerajaan Mataram Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya)Oleh lantaran itu, untuk keserasian alam semesta dan kehidupan insan maka harus dijalin kekerabatan yang serasi antara alam semesta dan manusia, begitu pula antara sesama manusia. Sistem kosmologi juga mengakibatkan raja sebagai penguasa tertinggi dan penjelmaan kekuatan tuhan di dunia. Seluruh kekayaan yang ada di tanah kerajaan ialah milik raja, dan rakyat wajib membayar upeti dan pajak pada raja. Sebaliknya raja harus memerintah secara cendekia dan bijaksana.

Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya yang berupa candi. Pada masa pemerintahan Raja Sanjaya, sudah dibangun beberapa candi antara lain: Candi Arjuna, Candi Bima dan Candi Nakula. Pada masa Rakai Pikatan, dibangun Candi Prambanan. Candi-candi lain yang dibangun pada masa Mataram Kuno antara lain Candi Borobudur, Candi Gedongsongo, Candi Sambisari, dan Candi Ratu Baka.


Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, banyak didirikan candi-candi yang bercorak Hindu dan Buddha. Pernikahannya dengan Pramodhawardhani tidak menyurutkan Rakai Pikatan untuk berpindah agama. Ia tetap memeluk agama Hindu dan permaisurinya beragama Buddha. Pembangunan candi-candi dilakukan dengan bekerja sama. Pramodhawardhani yang bergelar Sri Kahulunan banyak mendirikan candi yang bersifat Buddha, sedangkan suaminya (Rakai Pikatan) banyak mendirikan candi yang bersifat Hindu.


Peranan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah mundur ketika sentra kekuasaannya pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ada beberapa pendapat terkena pemindahan sentra kerajaan ini. Pendapat usang menyampaikan bahwa pemindahan sentra kerajaan ini sehubungan dengan adanya musibah berupa banjir atau pegunungan meletus atau adanya wabah penyakit. Untuk lebih lengkapnya terkena penyebab kemunduran Kerajaan Mataram Kuno ini sanggup dipelajari pada Materi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

Demikianlah Materi Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, semoga bermanfaa.
LihatTutupKomentar