Selamat tiba di softilmu, blog sederhana yang mengembangkan ilmu pengetahuan dengan penuh keikhlasan. Kali ini kami akan mengembangkan ilmu ihwal Perkembangan PERS di Indonesia dan Kebebasan PERS. Sebelum membaca postingan kali ini, supaya lebih mengenal Pengertian, Fungsi dan Teori PERS, silahkan sobat membaca artikel kami sebelumnya
Artikel Penunjang : Pengertian, Fungsi dan Teori – Teori PERS Di Indonesia
A. PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA
Pers di Indonesia dimulai semenjak dibentuknya kantor info ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor info usaha dalm rangka usaha merebut kemerdekaan Indonesia. Indonesia mulai mengembangkan pers pada penerbitan surat kabar pertama yaitu Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang terbit pada 7 Agustus 1774. Kemudian muncullah pengikutnya berupa surat kabar melayu antara lain Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861) dan Medan Prijaji (1907). Pada tahun 1912 terbit lagi majalah tertua di Indonesia yaitu Panji Islam. Lalu, surat kabar terbitan pertama Tionghoa yang pertama kali muncul yaitu Li Po (1901) lalu Sin Po (1910). Surat kabar pertama di Indonesia yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu surat kabar Soeara Asia.
Tidak berhenti disitu saja, surat kabar Nasional yang memuat teks proklamasi yaitu Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta) dan Asia Baroe (Semarang).
Secara umum, di seluruh dunia terdapat contoh kebijakan pemerintah terhadap pers yang adikara dan demokratis. Diantara keduanya terdapat variasi dan kombinasi, bergantung tingkat perkembangan masing-masing negara. Ada yang quasi adikara ada yang quasi demokratis dan sebagainya.
PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA DAN KEBEBASAN PERS |
B. KEBEBASAN PERS
Kebebasan pers yaitu bab dari hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 45 pasal 28 berbunyi: “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan memberikan informasi dengan memakai segala jenis saluran yang tersedia.”
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai syarat pagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Meski kalangan pers di banyak sekali negara diberikan kebebasan dan telah menjadi lebih profesional, di banyak sekali kepingan duania dikala ini para wartawan tetap menghadapi intimidasi, kekerasan, pengasingan, pengasingan, penjara, bahkan eksekusi mati atau pembunuhan.
Indonesia mengalami pengekangan pemerintah terhadap pers dimulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Sejak itu sampai sekarang, pendapat ihwal kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain menyampaikan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Masa pemerintahan Orde Baru, pembredelan, sensor, dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dihentikan UU Pokok Pers (Pasal 4 dan 8, Ayat 2), tetap terjadi dengan dasar Permenpen 01/1984 Pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Konsep Pers Pancasila, Pers Pembangunan, dan pers kemitraan (pers, pemerintah dan masyarakat), menciptakan pers harus secara total tunduk kepada kekuasaan. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan forum yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem aturan pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas, dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.
Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, menciptakan pers menemukan kemerdekaanya.
Menteri Penerangan dikala itu, Yunus Yosfiah: kebebasan pers yaitu satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melakukan kekuasaan negara. SIUPP tidak lagi diperlukan.
Sejak 1998, pers Indonesia sanggup mengabarkan info secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut.
Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah.
Tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan info atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai berisiko. Dengan dihapuskannya forum SIUPP, beberapa media yang sempat ”mati”, kini pun hidup kembali, ibarat Majalah Berita Mingguan Tempo dan Harian Umum Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ”mati”, dengan segala kemudahannya, kini gampang ditemui suratkabat, majalah, info radio, dan televisi maupun situs info online baru.
Undang-Undang (UU) No 40/1999 ihwal Pers menyebutkan, "Kemerdekaan pers yaitu suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum".
Kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, budpekerti dan hukum.
Kemerdekaan pers yaitu kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi aturan yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dari Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sesuai dengan hati nurani insan pers.
Sekarang ini kebebasan sangat maju. Namun ada tekanan lain yang muncul, namanya pasar dan juga konglomerasi media.
Para pengusaha media bergandengan tangan dengan para penguasa, bukan saja dalam kerangka mau kondusif tapi juga mengembangkan pasar.
Ancaman terhadap kebebasan pers juga bisa muncul dari pemilik media itu, contohnya dengan alasan bisnis. Menurut survei National Democratic Institute, hampir 95 persen dari semua informasi soal politik yang diperoleh warga Indonesia –kecuali Maluku dan Papua—didapat dari surat kabar dan televisi yang pemegang sahamnya ada di Jakarta.
Pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, alasannya yaitu publik mustahil mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”
Nah itulah postingan kami kali ini ihwal Perkembangan PERS Di Indonesia dan Kebebasan PERS. Apabila masih ada yang belum dimengerti sobat bisa menanyakannya pada kolom komentar di bawah. Terimakasih telah berkunjung di softilmu, jangan lupa like, follow, dan Komentarnya ya J