-->

Penjelasan Jejak Sejarah Dalam Dongeng, Folklor, Mitologi, Legenda Di Banyak Sekali Daerah

Penjelasan Jejak Sejarah Dalam Dongeng, Folklor, Mitologi, Legenda di Berbagai Daerah - Di samping benda-benda material, peninggalan masa prasejarah pun sanggup berupa non-material. Peninggalan budaya yang bersifat nonmateri ini contohnya pandangan dunia atau falsafah hidup, nilai atau norma (value), dan impian hidup. Benda-benda material ialah cerminan kasatmata dari pandangan dunia, cita-cita, nilai, serta falsafah ini. Melihat benda-benda peninggalan yang material tak lain ialah upaya untuk mencicipi cara pandang mereka terhadap lingkungan sekitar, orang lain, dan diri sendiri.

Dalam memelihara dan mewariskan tradisi kebudayaannya, selain memakai benda-benda kebudayaan, masyarakat praaksara di Nusantara memakai cara lisan. Proses peabadian kebudayan dengan cara lisan ini, salah satunya, melalui tradisi dongeng. Dongeng ini sanggup disampaikan melalui jalur keluarga atau jalur sosial yang lebih luas, yakni masyarakat. Melalui dongeng inilah para peneliti sanggup melacak jejak-jejak sejarah. Selain melalui dongeng, jejak-jejak sejarah ini sanggup kita temukan pada upacara ritual, lagu-lagu daerah, permainan wayang, dan lain sebagainya.


Dongeng ialah kisah pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng ialah kisah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, mencakupkan pelajaran moral atau bahkan sindiran. Dongeng juga mempunyai kesamaan unsur-unsur kisah dengan daerah-daerah lain. Cerita Cinderella contohnya dalam versi Indonesia juga dikenal dengan ”Bawang Merah dan Bawang Putih”, ”Si Melati dan Si Kecubung”, dan ”I Kesuna Ian I Bawang” (di Bali).

 peninggalan masa prasejarah pun sanggup berupa non Penjelasan Jejak Sejarah Dalam Dongeng, Folklor, Mitologi, Legenda di Berbagai Daerah
a. Dongeng Binatang
Dongeng binatang ialah dongeng yang ditokohi oleh binatang, baik binatang peliharaan maupun binatang liar. Binatang-binatang tersebut sanggup berbicara dan berakal budi menyerupai manusia. Pada suatu kebudayaan binatang-binatang itu terbatas pada beberapa jenis. Di Eropa (Belanda, Jerman dan Inggris) binatang yang sering menjadi tokoh kisah ialah rubah (fox) yang berjulukan Reinard de Fox. Di Amerika, pada kebudayaan masyarakat Negro kelinci yang berjulukan Brer Rabit, pada masyarakat Indian Amerika coyote (sejenis anjing hutan), rubah, burung gagak, dan laba-laba, di Indonesia kancil (pelanduk) dengan nama sang Kancil atau seujung kera, dan di Filipina. Binatang-binatang itu tiruana mempunyai sifat yang cerdik, licik dan jenaka. Tokoh sang Kancil contohnya dalam ilmu folklor disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu.

Suatu bentuk khusus dongeng binatang ialah fabel, yaitu dongeng binatang yang mengandung moral (ajaran baik buruk). Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dongeng yang berupa fabel disebut tantri. Menurut C. Hooykaas, kisah tantri berasal dari naskah Pancatantra yang sudah mengalami proses adaptasi.
misal tentang tantri dikemukakan oleh Hooykaas dalam kisah ”Seorang Brahmana dan Anjing Hutan yang Tak Tahu Membalas Budi.” Jika kisah aslinya dalam Pancatantra terkena seorang yang menolong seujung ular. Namun, ular yang ditolong itu hendak menelan orang itu maka pada versi Jawa tokoh-tokoh kisah berubah menjadi seorang brahmana dengan seujung anjing hutan.
Jika pada kisah aslinya, tokoh penengahnya ialah seujung rubah maka pada versi Jawa dari cerita tantri, tokoh penengahnya ialah seujung kancil. Kedua kisah itu mengandung tipe kisah yang sama, yaitu ”binatang yang ditolong mengancam penolongnya” atau ”binatang yang tak kenal budi kembali ke dalam kurungannya.” Seorang Brahmana sudah membebaskan seujung anjing hutan yang sudah terkurung dalam perangkap. Namun, setelah bebas ia tidak berterima kasih, bahkan hendak menelan si Brahmana. Akhirnya Brahmana ditolong oleh sang Kancil yang diminta menolongannya sebagai penengah. melaluiataubersamaini tipuannya sang Kancil meminta supaya si Anjing Hutan mengulangi lagi kejadiannya maka si Anjing Hutan sanggup terkurung lagi dalam perangkap sehingga dibunuh oleh pemburu yang memasang perangkap.
b. Dongeng Biasa
Dongeng biasa ialah jenis dongeng yang ditokohi insan dan biasanya ialah kisah suka sedih seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang terkenal ialah yang bertipe ”Cinderella”, yaitu seorang perempuan yang tidak ada harapan (unpromissing heroin). Dongeng biasa yang bertipe Cinderella ini bersifat universal lantaran tersebar ke segala penjuru dunia. Ada beberapa dongeng biasa yang bertipe Cinderella di Indonesia, contohnya dongeng “Ande-Ande Lumut” dan “Si Melati dan Si Kecubung” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “Bawang Putih dan Bawang Merah” di Jakarta, “I Kesuna Ian I Bawang” di Bali. Motif-motif dalam dongeng Ande-Ande Lumut mempunyai kesamaan dengan kisah Cinderella, misalnya: ibu tiri yang kejam; tokoh perempuan yang disiksa oleh ibu dan kakak-kakak tirinya; penolong gaib; bertemu dengan pangeran; pembuktian identitas; berkeluarga dengan pangeran.

Selain, tokoh dongeng tipe Cinderella yang berjenis wanita, adapula yang berjenis pria (Male Cinderella).Tokoh yang demikian ditemukan di Skandinavia dengan nama Askeladen yang berarti putra abu. misal dongeng semacam ini banyak di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur contohnya dikenal dongeng Joko Kendil. Di Bali ada beberapa, antara lain dongeng tentang seorang yang bertubuh sebelah, menyerupai dongeng I Mrereng (Si Bandel), I Rare Sigaran ( Si Sebelah ), I Sigir, I Truna Asibak Tua Asibak ( Si Jejaka Sebelah, Tua Sebelah ), I Dukuh Sakti dan I Sibakan. Motif kisah orang separuh ini bersifat universal lantaran selain ada di Indonesia ada juga di Cina, India, di negara-negara Afrika, dan sebagainya.

Dongeng biasa lainnya di Indonesia yang juga mempunyai penyebaran yang luas ialah yang bertipe ”Oedipus”, yaitu tentang perkawinan sumbang antara seorang pria dengan ibu kandungnya (mother incest prophecy) dan pembunuhan ayah oleh putra kandungnya secara tidak sengaja. Di Indonesia dongeng yang setipe dengan Oedipus, yaitu dongeng Sangkuriang atau disebut juga ”Legenda Terjadinya Gunung Tangkuban Perahu” dari Jawa Barat. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terdapat mite ”Prabu Watu Gunung” dan dari Nanga Serawai Kalimantan Barat terdapat dongeng ”Bujang Munang”. 

Dongeng biasa lainnya di Indonesia yang penyebarannya luas ialah yang bertipe Swan Maiden (Gadis Burung Undan), yaitu dongeng atau legenda mengisahkan seorang putri yang berasal dari burung undan atau bidadari, yang terpaksa menjadi insan lantaran kulit burungnya atau pakaian bidadarinya disembunyikan seseorang sewaktu ia sedang mandi. la kemudian menjadi istri pria itu dan gres sanggup kembali ke kayangan setelah menemukan kembali kulit, pakaian burung atau pakaian bidadarinya. Dongeng biasa menyerupai ini selain terdapat di Indonesia juga terdapat di India, Spanyol, Jerman, Perancis, Arab, Persia, Polinesia, Melguasia, Australia dan Eskimo. Beberapa teladan dari Indonesia ialah dongeng Raja Pala dari Bali, Joko Tarub dari Jawa Timur (Tuban) dan Pasir Kujang dari Pasundan, Jawa Barat.

Tampaknya kisah rakyat Indonesia, khususnya yang berasal dari suku bangsa Jawa, Sunda, dan Bali banyak memperoleh efek dari luar. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa mereka sudah mengambil alih begitu saja dari luar, melainkan sudah mereka olah terlebih lanjut sesuai dengan kebudayaan mereka sehingga tidak terasa keasingannya. Keadaan demikian wajar, alasannya ialah sejarah bangsa Indonesia semenjak lampau kala memang bersentuhan dengan peradaban-peradaban besar menyerupai Hindu, Islam, Cina dan Ero-Amerika.


Folklor ialah adat-istiadat tradisonal dan kisah rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan ialah kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun. Kata folklor ialah pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut ialah kata beragam yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata berarti sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga sanggup dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. 

Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka sudah mempunyai suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang sudah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang sudah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting ialah bahwa mereka mempunyai kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. 

Kata lore ialah tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu teladan yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pemmenolong pengingat (mnemonic device). melaluiataubersamaini demikian, pengertian folklor ialah penggalan dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun teladan yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pemmenolong pengingat.

Perkembangan folklor tidak spesialuntuk terbatas pada golongan petani desa, tetapi juga nelayan, pedagang, peternak, pemain sandiwara, guru sekolah, mahasiswa, tukang becak, dan sebagainya. Demikian juga penelitian folklor bukan spesialuntuk terhadap orang Jawa, tetapi juga orang Sunda, orang Bugis, orang Menado, orang Ambon dan sebagainya. Bukan spesialuntuk untuk penduduk yang beragama Islam, melainkan juga orang Katolik, Protestan, Hindu Dharma, Buddha, bahkan juga Kahaenteng (Dayak), Melohe Adu (Nias), dan tiruana kepercayaan yang ada. Folklor juga berkembang baik di desa maupun di kota, di keraton maupun di kampung, baik pada pribumi maupun keturunan asing, asal mereka mempunyai kesadaran atas identitas kelompoknya.

Agar sanggup membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Folklor mempunyai ciri-ciri sebagai diberikut.

(a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari lisan ke lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
(b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
(c) Berkembang dalam versi yang tidak sama-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor simpel mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.
(d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.
(e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa contohnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).
(f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat contohnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
(g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
(h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
(i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya berangasan atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor ialah proyeksi (cerminan) emosi insan yang jujur.

Dalam mempelajari kebudayaan (culture) kita mengenal adanya tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan universal tersebut mempunyai tiga wujud, yaitu:

(a) wujud sistem budaya, berupa gagasan, kepercayaan, nilai-nilai, norma, ilmu pengetahuan, dan sebagainya;
(b) wujud sistem sosial, berupa tindakan sosial, sikap yang berpola menyerupai upacara, kebiasaan, tata cara dan sebagainya;
(c) wujud kebudayaan fisik.

Jan Harold Brunvand, spesialis folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

a. Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai diberikut:
(1) bahasa rakyat menyerupai logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
(2) ungkapan tradisional menyerupai peribahasa dan sindiran;
(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
(4) sajak dan puisi rakyat, menyerupai pantun dan syair;
(5) kisah prosa rakyat, kisah prosa rakyat sanggup dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), menyerupai Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
(6) nyanyian rakyat, menyerupai “Jali-Jali” dari Betawi.

b. Folklor sebagian Lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai diberikut:

(1) kepercayaan dan takhayul;
(2) permainan dan hiburan rakyat setempat;
(3) teater rakyat, menyerupai lenong, ketoprak, dan ludruk;
(4) tari rakyat, menyerupai tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
(5) adat kebiasaan, menyerupai pesta selamatan, dan khitanan;
(6) upacara tradisional menyerupai tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
(7) pesta rakyat tradisional menyerupai membersihkan desa dan meruwat.

c. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai diberikut:

(1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, menyerupai Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
(2) seni kerajinan tangan tradisional,
(3) pakaian tradisional;
(4) obat-obatan rakyat;
(5) alat-alat musik tradisional;
(6) peralatan dan senjata yang khas tradisional;
(7) masakan dan minuman khas daerah.

3. Mitos

Mitos atau mite (myth) ialah kisah prosa rakyat yang ditokohi oleh para tuhan atau makhluk setengah tuhan yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya kisah atau penganutnya. Mitos pada umumnya mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, dunia, insan pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, tanda-tanda alam dan sebagainya. Mitos juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka dan sebagainya. Selain berasal dari Indonesia, adapula mitos yang berasal dari luar negeri. Mitos yang berasal dari luar negeri pun pada umumnya sudah mengalami pengolahan lebih lanjut sehingga tidak terasa lagi asing. Hal ini disebabkan cerita-cerita itu mengalami proses adaptasi. 

Menurut Moens-Zorab orang Jawa bukan saja sudah mengambil alih mitos-mitos dari India, melainkan
juga sudah mengadopsi dewa-dewa serta pahlawan-pahlawan Hindu sebagai tuhan dan pahlawan Jawa. Bahkan orang Jawa pun percaya bahwa mitos-mitos itu (di antaranya berasal dari kisah epos Ramayana dan Mahabharata) terjadi di Jawa. Di Jawa Timur misalnya, Gunung Semeru dianggap oleh orang Hindu Jawa dan Bali sebagai pegunungan suci Mahameru, atau sedikitnya sebagai Puncak Mahameru yang dipindahkan dari India ke Pulau Jawa.

Mitos di Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony) terjadinya susunan para tuhan dunia dewata (pantheon) terjadinya insan pertama dan tokoh pahlawan budaya (culture hero); terjadinya masakan pokok, menyerupai beras dan sebagainya. Mengenai mite terjadinya padi, dikenal adanya Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi padi orang Jawa. Menurut versi Surabaya (Jawa Timur), Dewi Sri ialah putri raja Purwacarita. la mempunyai seorang saudara pria yang berjulukan Sadana. Pada suatu hari selagi pulas, Sri dan Sedana disihir oleh ibu tirinya. Sadana diubah menjadi seujung burung layang-layang dan Sri diubah menjadi ular sawah. Versi lain dari Jawa menceritakan bahwa padi berasal dari mayat Dewi Sri, istri Dewa Wisnu.

Selain padi ada tanaman-tanaman lain yang juga berasal dari mayat Dewi Sri, seperti: dari tubuhnya tumbuh pohon aren; dari kepalanya tumbuh pohon kelapa dari kedua tangannya tumbuh pohon buah-buahan; dari kedua kakinya tumbuh tumbuhan akar-akaran, menyerupai ubi jalar dan talas. Dewi Sri meninggal lantaran dirongrong terus menerus oleh raksasa yang berjulukan Kala Gumarang. Raksasa ini sangat keras hati sehingga walau sudah meninggal ia masih berubah menjadi menjadi rumput liar, yang selalu mengganggu tumbuhan padi, jelmaan Dewi Sri. Istilah motif dalam ilmu folklor berarti unsur-unsur suatu cerita. 

Motif teks kisah rakyat ialah unsur dari suatu kisah yang menonjol dan tidak biasa sifatnya. Unsur itu sanggup berupa benda, binatang yang luar biasa, suatu konsep (larangan atau tabu), suatu perbuatan (ujian ketangkasan), penipuan terhadap suatu tokoh, angka keramat dan sebagainya. Mengenai mitologi tentang tokoh-tokoh rakyat di seluruh dunia, menyerupai kisah Oedipus, Theseus, Romulus, Nyikang (dari Afrika), dan Ratu Watu Gunung (dari Jawa) pada umumnya mengandung unsur-unsur di antaranya: ibunya seorang perawan; ayahnya seorang raja; terjadi proses perkawinan yang tidak wajar; ia dikenal juga sebagai putra dewa; ada usaha sang ayah untuk membunuhnya; disembunyikan secara rahasia; dipelihara oleh orang renta angkatnya; kembali menuju dan menduduki tahrta kerajaan; berkeluarga dengan seorang putri; dan sebagainya.

melaluiataubersamaini mengamati unsur-unsur yang mendasari mitos maupun legenda tokoh-tokoh rakyat seluruh dunia. Raglan berkesimpulan bahwa penyebab adanya kesamaan riwayat hidup tokoh-tokoh dalam kisah prosa rakyat lantaran adanya pola perumusan yang sama. Oleh lantaran itu, walaupun tokoh-tokoh itu benar-benar ada, tetapi kisah siklus tokoh-tokoh rakyat kurang mengandung nilai sejarah. Hal ini disebabkan kisah prosa rakyat itu sudah diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan rumus kisah tokoh-tokoh rakyat tradisional.


Legenda ialah kisah prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya kisah sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh lantaran itu, legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory). Walaupun demikian, lantaran tidak tertulis maka kisah tersebut sudah mengalami distorsi sehingga seringkali jauh tidak sama dengan kisah aslinya. Oleh lantaran itu, jikalau legenda hendak dipergunakan sebagai materi untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus membersihkan dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.

Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan (religious legends) legenda alam mistik (supernatural legends), legenda perseorangan (personal legends), dan legenda setempat (local legends).

a. Legenda Keagamaan
Legenda keagamaan ialah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor lantaran versi asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi lisan.

Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya ialah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka ialah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Selain sembilan wali tersebut, di Jawa masih banyak wali-wali lain. Legenda tentang mereka simpel dikenali alasannya ialah makam-makamnya diziarahi pada peringatan kematiannya (haul) yang disebut keramat atau punden. Para juru kunci itu pada umumnya, sanggup menceritakan legenda orang sucinya. D.A. Rinkes dalam bukunya berjudul De Heiligen van Java (Orang-orang Saleh dari Jawa) sebut beberapa wali lain di antaranya: Syeh Abdul Muhyi, Syeh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang, dan Pangeran Panggung, Syeck Abdul Qodir Jaelani, dan lain-lain.

b. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini ialah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau kepercayaan rakyat. misal legenda ini yaitu kepercayan terhadap adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.

c. Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan ialah kisah terkena tokoh-tokoh tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal ialah legenda tokoh Panji. Panji ialah seorang putra raja Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur yang senantiasa kehilangan istrinya. Akibatnya, banyak muncul kisah Panji yang kawanya selalu tentang istrinya yang berubah menjadi menjadi perempuan lain. Cerita Panji yang tiruanla ialah kesusasteraan lisan (legenda), namun sudah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi dalam bentuk tulisan. Beberapa kisah yang tergolong ke dalam kisah panji contohnya “Ande-Ande Lumut” (dongeng Cinderella ala Jawa), Kethek Ogleng (seorang pangeran disihir menjadi seujung kera), ”Cerita Sri Tanjung”, ”Jayaprana dan Layongsari”.

Suatu jenis legenda perseorangan terkena perampok menyerupai Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya untuk didermakan kepada rakyat miskin. Legenda semacam ini di Jakarta pada ”tempo doeloe” ialah kisah petualangan ”Si Pitung”.

d. Legenda Setempat
Legenda setempat ialah kisah yang bekerjasama dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya. Legenda setempat yang bekerjasama dengan nama suatu tempat misalnya, legenda Kuningan. Kuningan ialah nama suatu kota kecil yang terletak di lereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan kota Cirebon, Jawa Barat. misal lain terkena legenda setempat yang bekerjasama erat dengan nama tempat ialah legenda “Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. 

Legenda ini sanggup dimasukkan ke dalam golongan legenda setempat lantaran menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekitar Danau Batur, menyerupai Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan. Selain itu contoh-contoh lain legenda setempat ini contohnya ”Asal Mula Nama Banyuwangi”, serta legenda ”Roro Jongrang”, ”Tangkuban Perahu”, ”Asal Mula nama Tengger dan Terjadinya Gunung Batok” serta “asal mula nama kota Bogor”.


Sebelum efek India masuk, masyarakat kuno Nusantara sudah mengenal cara-cara upacara. Prosesi upacara ini dilaksanakan untuk menghormati roh nenek-moyang. Upacara ini sanggup dilaksanakan pada aneka macam peluang. Ada yang dilaksanakan pada proses penguburan, untuk keperluan perkawinan, dikala pengangkatan kepala suku, dikala pguan padi, dikala sedekah laut, atau dikala menjelang peperangan. Upacara ini pun sering dibarengi dengan pertunjukan wayang, terutama setelah pguan padi. 

Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama, atau pun kepercayaan mereka. Upacara yang ialah usaha insan untuk mencari hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. Upacara tersebut juga dimaksudkan untuk mendapat kemurahan hati para tuhan dan untuk menghindarkan diri dari kemarahan para tuhan yang seringkali diwujudkan dengan aneka macam malapetaka dan tragedi alam. Upacara Larung Samudro, contohnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut Selatan.

Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang berkembang di kalangan masyarakatnya tentang asal-usul keturunan mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka menyerupai yang tertuang dalam kisah rakyat itu. Hal ini tampak dalam upacara Kasodo yang diselenggarakan setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo.

Bagi sebuah kerajaan besar menyerupai Majapahit dan Mataram, upacara-upacara hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan mempunyai arti penting. Upacara tersebut sebagai menerangkan kebemasukan kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dari wilayah-wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat. 

Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Sesudah masuknya agama dan kebudayaan Islam upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur islami. Upacara ”Sekaten” misalnya, pada mulanya ialah upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari Kerafaan Majapahit akhir. Upacara tersebut kemudian diubah menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan Kerajaan Demak. 

Nama sekaten ialah penyesuaian makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti (obat mujarab dari Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh lantaran itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram. Bahkan, hingga kini upacara tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.

Sultan Agung menyebarkan rintisan para Wali dengan membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam Gerebeg, yaitu sebagai diberikut.

(a) Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni hari raya Idul Fitri,
(b) Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
(c) Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad SAW. yang kini menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
(d) Upacara Pajang Jimat di Cirebon.

melaluiataubersamaini demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung sudah melaksanakan proses penyesuaian (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang sudah berumur usang diubahsuaikan dengan keadaan zaman yang gres yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu.

Sebelum efek Hindu-Buddha hadir, masyarakat kuno di Nusantara sudah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme ialah kepercayaan terhadap roh nenek-moyang yang mendiami benda-benda, menyerupai pohon, batu, sungai, pegunungan, senjata. Sedangkan dinamisme ialah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang sanggup memengaruhi keberhasilan atau kegagalan insan dalam kehidupan. Jadi, kepercayaan animisme dan dinamisme erat bekerjasama dengan alam kosmik, kekuatan alam sekitar dan roh leluhur. Dari kepercayaan inilah, upacara ritual kemudian lahir.

Upacara penguburan muncul lantaran keyakinan bahwa roh orang yang gres meninggal akan pergi dan berdiam di suatu tempat yang letak dan posisinya tak jauh dari lingkungan tempat ia tinggal semasa hidup. melaluiataubersamaini demikian, bila sewaktu-waktu desanya diserang oleh kelompok lain atau desanya diserang wabah penyakit maka roh orang meninggal tersebut sanggup dipanggil kembali untuk memmenolong menanggulangi keadaan. Upacara penguburan ini dilaksanakan sangat sederhana. 

Namun, di balik kesederhanaannya itu tersimpan makna yang dalam bahwa meskipun raga atau tubuh seseorang sudah mati namun rohnya tetap hidup dan berada di sekitar orang-orang terdekatnya. Biasanya, mayat yang bersangkutan disimpan di sebuah goa watu atau di dalam peti batu. Di dalam goa atau peti watu tersebut disimpan aneka macam “bekal” untuk keperluan mayat di alam gaib, biasanya berupa alat-alat perhiasan. Hampir di setiap tempat di Nusantara terdapat upacara ritual penguburan ini.

Selain pada momen penguburan, upacara juga biasanya dilaksanakan pada prosesi pernikahan. Pernikahan ialah kejadian bersejarah bagi sepasang insan yang hendak hidup bersama. Pernikahan, selain melibatkan dua orang yang tidak sama kelabuin, juga mempertemukan dua buah keluarga. Karena keistimewaannya nilai sebuah perkawinan, insan pun berusaha biar momentum tersebut diperlakukan secara spesial. Oleh lantaran itu, sebuah upacara pun digelar sebagai tanda bahwa ijab kabul mereka ialah suci.

Tiap-tiap tempat di Indonesia mempunyai tata cara yang tidak sama dalam hal upacara perkawinan. Masing-masing mempunyai peraturan sendiri. Pada suku Batak dan Bali, misalnya, perkawinan dilangsungkan di rumah pihak lelaki. Sementara, di Sunda atau Jawa ijab kabul diadakan di rumah pihak perempuan.

Upacara pun dilakukan dikala seorang didaulat menjadi kepala suku. Sebelum masa praaksara, masyarakat Nusantara sudah menganggap pentingnya kedudukan seorang kepala suku dalam sebuah komunitas. Kriteria seorang pemimpin suku ini di antaranya: harus berpengaruh jasmani-rohani, mempunyai kekuatan magis, kharismatik, dan berpengalaman melebihi orang-orang sekitarnya. Kepala suku ini akan berperan sebagai pelindung sukunya dari aneka macam bahaya suku lain, binatang liar, dan wabah penyakit. Ia pun akan dijadikan sebagai penasihat bagi anggota sukunya, pemimpin dalam upacara-upacara penguburan atau perkawinan.

Pada masyarakat tradisional, peperangan antar suku ialah hal lazim terjadi. Biasanya, hal-hal yang menjadi penyebab peperangan ini ialah persoalan perbatasan wilayah, adanya pertikaian antarpribadi yang tidak sama suku asal, mempertahankan harga diri suku masing-masing, atau memang untuk membuktikan siapa pihak terkuat. Oleh lantaran itu, guna memenangkan peperangan masing-masing pihak yang berseteru mengharapkan kekuatan yang lebih. 

Untuk memperoleh kekuatan itu, mereka minta arwah atau roh leluhur untuk memmenolong mereka. Secara umum sanggup kita simpulkan bahwa upacara-upacara dikaitkan dengan adanya kepercayaan yang menampilkan tokoh yang disakralkan. Di lain pihak upacara-upacara juga sanggup menerangkan masa kemudian dan kesadaran masyarakat terhadap masa lalunya, contohnya ialah pada masyarakat agraris dengan upacara penghormatan terhadap Dewi Sri selain itu pada masyarakat pantai muncul upacara untuk menghormati tokoh Nyi Roro Kidul.


Nyanyian rakyat ialah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara masyarakat tertentu dan berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu ialah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidakselalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang tidak sama. Nyanyian rakyat mempunyai perbedaan dengan nyanyian lainnya, menyerupai lagu pop atau klasik. 

Hal ini lantaran sifat dari nyanyian rakyat yang simpel sanggup berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya. Sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian lainnya. Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu masyarakat dari pada lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf maupun buta huruf, kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian rakyat pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat juga berguaka ragam, yakni dari yang paling sederhana hingga yang cukup rumit. Penyebarannya melahirkan tradisi lisan menimbulkan nyanyian rakyat cenderung bertahan sangat usang dan mempunyai banyak varian-varian. 

Nyanyian rakyat mempunyai fungsi sebagai pelipur lara, nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi permainan anak-anak, dan nyanyian “Nina Bobo”. 

Fungsi yang kedua ialah sebagai pembangkit semangat, menyerupai nyanyian kerja ”Holopis Kuntul Baris”, nyanyian untuk baris-berbaris, usaha dan sebagainya. 

Fungsi ketiga ialah untuk memelihara sejarah setempat, dan klen. Di Nias ada nyanyian rakyat yang disebut Hoho, yang dipergunakan untuk memelihara silsilah klen besar orang Nias yang disebut Mado. Fungsi keempat ialah sebagai protes sosial, terkena ketidakadilan dalam masyarakat, negara bahkan dunia.

Dari aneka macam jenis nyanyian rakyat, yang sanggup dipertimbangkan sebagai salah satu sumber dari penulisan sejarah ialah nyanyian rakyat yang bersifat berkisah, nyanyian rakyat yang tergolong dalam kelompok ini ialah Balada dan Epos

Perbedaan antara balada dan epos terletak pada tema ceritanya. Tema kisah balada terkena kisah sentimentil dan romantis, sedangkan epos atau wiracarita terkena kisah kepahlawanan. Keduanya mempunyai bentuk bahasa yang bersajak. Nyanyian yang bersifat berkisah ini banyak terdapat di Indonesia. Di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terdapat epos yang berasal dari epos besar Mahabarata dan Ramayana. Nyanyian rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga di sebut sebagai ”Gending”. Gending-gending tersebut masih dibagi ke dalam beberapa jenis menyerupai Sinom, Pucung dan Asmaradhana, Balada di Jawa Barat diwakili oleh Pantun Sunda.

Seorang sarjana Belanda berjulukan C.M. Pleyte sudah mengumpulkan pantun Sunda terkena Lutung Kesarung (1910) dan Nyai Sumur Bandung (1911). Penelitian pantun Sunda diberikutnya dilakukan oleh Ajip Rosidi yang berhasil mengumpulkan 26 pantun Sunda dan 14 di antaranya sudah diterbitkan pada tahun 1973. Di antara Pantun Sunda yang berhasil direkam oleh Ajip Rosidi tersebut antara lain: ”Tjarita Mundinglaja di Kusuma”, ”Tjerita Nyi Sumur Bandung”, dan ”Tjarita Demung Kalagan”. Kebanyakan teks pantun-pantun itu panjang.

Demikianlah materi Penjelasan Jejak Sejarah Dalam Mitologi, Legenda di Berbagai Daerah, semoga bermanfaa.
LihatTutupKomentar