Kehidupan Sosial Budaya Kepercayaan dan Bahasa Manusia Purba Indonesia - Manusia purba, pada awalnya hidup sangat sederhana. Mereka hidup bergantung pada pemdiberian alam sekitar. Ketika itu mereka belum menghasilkan budaya, dalam bentuk apapun. Mereka hidup secara berkelompok dan sering berperang melawan kelompok (suku) lain.
Lalu, seiring perkembangan zaman insan purba mulai berkreasi membuat benda-benda yang sanggup memmenolong dalam mempertahankan hidup mereka. Mereka mulai mengumpulkan kuliner dan memperhalus perkakas-perkakas dari batu. Untuk selanjutnya, mereka mulai memproduksi kuliner sendiri dan membuatkan budaya dalam level sederhana.
Dalam masa prasejarah Indonesia, corak kehidupan dengan cara berburu dan mengumpulkan kuliner (food gathering) dibagi menjadi dua masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan atau meramu kuliner tingkat sederhana serta masa berburu dan mengumpulkan kuliner tingkat lanjut. Pada masa tingkat sederhana insan hidup secara berkelompok. Kelompok pria melaksanakan perburuan, sedangkan kelompok wanita mengumpulkan dan meramu makanan. Perburuan dilakukan dengan alat-alat yang masih sangat sederhana.
Pada awalnya insan purba hidup di padang terbuka. Alam sekitarnya ialah tempat mereka mencari makanan. Mereka mengikuti keadaan terhadap alam sekitar untuk sanggup mempertahankan hidup. Manusia purba yang hidup di kawasan hutan sanggup menghindarkan diri dari ancaman serangan binatang buas, terik matahari dan hujan.
Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua atau membuat tempat tinggal di atas pohon besar. Manusia yang tinggal di gua-gua dikenal sebagai cavemen (orang gua). melaluiataubersamaini demikian, mereka sangat bergantung pada kebaikan alam; mereka cenderung pasif terhadap keadaan.
Kehidupan di dalam gua-gua pada masa ini menghasilkan lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua yang (kemungkinan besar) menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Lukisan-lukisan pada dinding gua lain berupa cap tangan, babi dan rusa dengan panah dibagian jantungnya, gambar binatang melata, dan gambar perahu. Lukisan dinding gua antara lain ditemukan di Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Kepulauan Kei, dan Pulau Seram.
Kondisi alam sangat besar lengan berkuasa terhadap sifat dan fisik makhluk hidup tanpa kecuali manusia. Pola kehidupan insan yang primitif sangat menggantungkan hidupnya pada ketersediaan alam, di mana daerah-daerah yang didiami harus cukup untuk memenuhi kebutuhannya, untuk kelangsungan hidup terutama di kawasan yang cukup persediaan air. Temuan artefak pada Zaman Palaeolitikum menunjukkan bahwa insan Pithecanthropus sudah mengenal perburuan dan menangkap binatang dengan cara yang sederhana.
Hewan yang menjadi mangsa perburuan yakni binatang yang berukuran besar, menyerupai gajah, sapi, babi atau kerbau. Saat perburuan, tentu diharapkan adanya kolaborasi antarindividu yang kemudian membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata. Adanya keterikatan satu sama lain di dalam satu kelompok, yang pria bertugas memburu binatang dan yang wanita mengumpulkan kuliner dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 – 15 orang.
Pada masa ini, insan tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai. Penangkapan ikan memakai mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil. Temuan-temuan perkakas tersebut antara lain kapak Sumatera (Sumatralith), mata panah, serpih-bilah dan lancipan tulang Muduk.
Ini menunjukkan adanya kegiatan perburuan hewan-hewan yang kecil dan tidak membutuhkan anggota kelompok yang banyak atau bahkan dilakukan oleh satu orang. Dalam kehidupan berkelompok, satu kelompok spesialuntuk terdiri dari satu atau dua keluarga.
Masyarakat berburu dan mengumpulkan kuliner ini lebih bahagia tinggal di gua-gua sebagai tempat berlindung. Mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat potong, pengeruk tanah, dan perkakas lain. Pola hidup berburu membentuk suatu kebutuhan akan pembuatan alat dan penerapan api.
Kebutuhan ini membentuk suatu budaya membuat alat-alat sederhana dari batu, kayu, tulang yang selanjutnya berkembang dengan munculnya suatu kepercayaan terhadap kekuatan alam. Diduga, alat-alat ini diciptakan oleh insan pithecanthropus dari zaman Paleolitikum, contohnya alat-alat yang ditemukan di Pacitan.
Menurut H.R. von Heekeren dan R.P. Soejono, serta Basuki yang melaksanakan penelitian tahun 1953-1954, kebudayaan Pacitan ialah kebudayaan tertua di Indonesia. Pada masa berburu dan meramu tingkat lanjut, ditemukan alat-alat dari bambu yang digunakan untuk membuat keranjang, membuat api, membuat anyaman dan pembakaran.
Selain di Pacitan, temuan homogen terdapat pula di Jampang Kulon (Sukabumi), Gombong, Perigi, Tambang Sawah di Bengkulu, Lahat, Kalianda di Sumatera Selatan, Sembiran Trunyan di Bali, Wangka, Maumere di Flores, Timor-Timur (Timor Leste), Awang Bangkal di Kalimantan Timur, dan Cabbenge di Sulawesi selatan.
Hasil-hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa berburu dan mengumpulkan kuliner antara lain:
(1) Kapak perimbas: tidak mempunyai tangkai dan digunakan dengan cara digenggam; diduga hasil kebudayaan Pithecanthropus Erectus. Kapak perimbas ditemukan pula di Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
(2) Kapak penetak: bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
(3) Kapak genggam: bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan masih sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia; digenggam pada ujungnya yang lebih ramping.
(4) Pahat genggam: bentuknya lebih kecil dari kapak genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan mencari ubiubian untuk dikonsumsi.
(5) Alat serpih atau flake: bentuknya sangat sederhana; berukuran antara 10 sampai 20 cm; diduga digunakan sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas, memotong, dan menggali tanah; banyak ditemukan di goa-goa yang pernah ditinggali insan purba.
(6) Alat-alat dari tulang: berupa tulang-belulang binatang buruan.
Alat-alat tulang ini sanggup berfungsi sebagai pisau, belati, mata tombak, mata panah; banyak ditemukan di Ngandong.
Penemuan akan kuburan primitif ialah bukti bahwa insan berburu kuliner ini sudah mempunyai kepercayaan yang bersifat rohani dan spiritual. Masyarakat zaman ini menganggap bahwa orang yang sudah mati akan tetap hidup di dunia lain dan tetap mengawasi anggota keluarganya yang masih hidup.
Adanya penerapan alat-alat berburu dari alam menjadikan kepercayaan akan adanya kekuatan alam yang dianggap sudah memmenolong keberhasilan berburu. Adanya seni lukis di gua-gua yang menceritakan wacana kejadian perburuan, patung dewi kerindangan dan penguburan mayit bersama alat-alat berburu, ialah suatu bukti wacana adanya kepercayaan primitif masyarakat purba. Orang yang meninggal ketika berburu harus didiberi perhargaan dalam bentuk rasa penghormatan.
Temuan lukisan di dinding-dinding gua menunjukkan adanya hasrat insan purba untuk mencicipi suatu kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Lukisan dibentuk dalam bentuk dongeng upacara penghormatan nenek moyang, upacara kerindangan, perkawinan, dan upacara minta hujan, menyerupai yang terdapat di Papua.
Lukisan-lukisan lain yang ditemukan antara lain lukisan kadal di Pulau Seram yang menggambarkan penjelmaan roh nenek moyang, gambar insan sebagai penolak roh-roh jahat, serta gambar bahtera yang melambangkan bahtera bagi roh nenek moyang dalam perjalanan ke alam baka. Ini terjadi pada masa berburu dan meramu kuliner tingkat lanjut.
Interaksi antaranggota kelompok ketika berburu menjadikan sistem komunikasi dalam bentuk bunyi-mulut, yakni dalam bentuk kata-kata atau gerakan tubuh yang sederhana. Perkembangan komunikasi antaranggota kelompok maupun antar kelompok ini terus berkembang pada masa hidupnya Homo sapien dalam bentuk bahasa.
Demikianlah Materi Kehidupan Sosial Budaya Kepercayaan dan Bahasa Manusia Purba Indonesia, selanjutnya baca juga Kehidupan Sosial Ekonomi Budaya Kepercayaan Manusia Purba Masa Bercocok Tanam semoga bermanfaa.