Keguakaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak, Bugis, Ambon, Dani, Asmat dan Tionghoa
1. Keguakaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak
1. Keguakaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak
Masyarakat Dayak terdapat di pedalaman Kalimantan. Pada umumnya mereka hidup dengan bertani dan berladang yang dilakukan secara berpindah-pindah. Selain itu mereka juga berburu dan menangkap ikan. Kegiatan berladang yang dilaksanakan secara berpindah-pindah tersebut diadaptasi dengan siklus penanaman yang berganti-ganti.
Sebagian besar masyarakat Dayak masih menganut kepercayaan, yakni Kahaenteng. Kahaenteng ialah suatu pedoman kepercayaan yang memuja nenek moyang dan dewa-dewa. Mereka juga percaya akan adanya kekuatan mistik yang menguasai alam, ibarat hujan, gempa bumi, pegunungan, halilintar, dan lain sebagainya. Di antara roh-roh mistik yang mereka percayai, terdapat roh tertinggi yang disebut dengan Alatalia.
Orang Dayak juga percaya kalau makan binatang-binatang penakut, mereka juga akan menjadi penakut. Itulah sebabnya pada umumnya mereka tidak makan daging kijang, lantaran kijang dianggap sebagai binatang penakut. Di kalangan masyarakat Dayak terdapat pendeta laki-laki dan perempuan yang bertindak sebagai dukun atau syaman. Pada ketika syaman yang sedang melaksanakan kewajibannya biasanya menggunakan juru bahasa lantaran bahasa yang dipakai oleh syaman ialah bahasa Sang Iyang yang tidak dimengerti oleh masyarakat Dayak secara umum.
Sistem korelasi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, baik Ngaju, Oy Danum, maupun Ma’ayam ialah sistem korelasi yang menganut prinsip keturunan ambilineal. Pada zaman lampau, di kawasan Kalimantan Tengah masih terdapat rumah-rumah panjang, maka kelompok korelasi yang terpenting ialah keluarga ambilineal kecil.
Bentuk keluarga ini muncul kalau terdapat keluarga luas yang utrolokal. Pada masa-masa kini ini, kelompok korelasi yang terpenting ialah keluarga luas utrolokal yang biasanya terdapat dalam rumah tangga. Rumah tangga dalam kehidupan masyarakat Dayak juga berlaku sebagai satu kesatuan fisik, contohnya dalam upacara-upacara Kahaenteng. Setiap keluarga luas masing-masing mempunyai roh pelindung dan di antaranya memuja rohroh nenek moyangnya sendiri.
Masyarakat Dayak menyebarkan beberapa kegiatan kesenian ibarat seni ukir, seni bangunan, seni kerajinan anyaman, dan sebagainya. Disamping itu juga mempunyai seni bela diri homogen gulat atau sumo yang ialah ajang sabung kekuatan antara sesame kaum lelaki.
Masyarakat Bugis-Makasar ialah masyarakat yang berada di jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Sejak zaman lampau masyarakat Bugis-Makasar dikenal sebagai pelaut-pelaut yang ulung. Mereka membuat perahu-perahu layar dengan tipe pinisi dan lambo yang sanggup mengarungi perairan nusantara, bahkan hingga juga ke kawasan Filipina dan Sri Langka untuk berdagang.
Mereka juga mempunyai aturan niaga dalam pelataran yang dikenal dengan istilah ade’alloping-loping bicaranna pabbalu’e. Hukum niaga tersebut ditulis pada daun lontar oleh Amanna Gappa pada kurun ke-17. Disamping berdagang dan menangkap ikan di laut, masyarakat Bugis-Makasar juga bercocok tanam yang dilakukan dengan berkebun dan berladang.
Masyarakat Bugis-makasar tradisional secara umum masih memegang budbahasa istiadatnya yang dianggap sakral yang disebut dengan panggandereng. Sistem budbahasa masyarakat Bugis-Makasar didasarkan pada lima unsur pokok, yaitu: (1) ade atau ada, (2) bicara, (3) rapang, (4) wari, dan (5) sara. Kelima unsur tersebut terjalin satu sama lain menjadi satu kesatuan organisasi dalam alam pikiran masyarakat Bugis-Makasar sehingga mempersembahkan harga diri, martabat, dan rasa sentimen dan identitas sosial bersama.
Perkawinan yang ideal berdasarkan masyarakat Bugis-Makasar ialah perkawinan yang memenuhi beberapa syarat sebagai diberikut:
a. Perkawinan antara dua saudara sepupu yang sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Perkawinan jenis ini dikenal dengan istilah assialang marola.
b. Perkawinan antara dua saudara sepupu yang sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu. Perkawinan jenis ini dikenal dengan istilah ssialana.
c. Yakni perkawinan antara dua saudara sepupu yang sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu. Perkawinan jenis ini dikenal dengan istilah epaddeppe’mebelae.
Bahasa yang dipergunakan di kalangan masyarakat Bugis ialah bahasa Ugi, sedangkan bahasa yang dipergunakan di kalangan masyarakat Makasar ialah bahasa Mangasara. Masyarakat Bugis-Makasar mempunyai kelebihan dalam seni sastra dan seni kerajinan. Dalam bidang kesusastraan, naskah kuno ditulis dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Sesudah masuknya agama Islam, naskah tersebut disaling dengan menggunakan bahasa Arab. Buku kesusastraan orisinil yang populer yaitu buku Sore Galigo ialah himpunan mitologi yang dianggap keramat.
Pulau Ambon ialah salah satu pulau yang ada di kepulauan Maluku. Masyarakat Ambon termasuk masyarakat Maluku Utara yang disebut dengan suku Tobelo. Secara umum, masyarakat Ambon ialah masyarakat agraris yang bekerja sebagai petani dan penangkap ikan. Jenis-jenis flora yang dikembangkan di antaranya ialah sagu, padi, jagung, serta banyak sekali jenis buah-buahan.
Sagu ialah makanan pokok bagi masyarakat Ambon. Pohon sagu tumbuh rindang di hutan-hutan dan di rawa-rawa. Pohon yang dianggap sudah cukup umur, yakni sekitar 6 hingga dengan 15 tahun, akan ditebang lantaran sudah cukup masak untuk menghasilkan sagu, kemudian batangnya dibelah dan terasnya yang terdiri dari serat-serat meliputi tepung dipukul-pukul semoga terlepas. Selanjutnya serat-serat tersebut dicuci dan diperas dengan menggunakan saenteng. Tepung-tepung yang dihasilkan dicetak dalam bentuk kotak-kotak empat persegi dengan menggunakan daun sagu.
Sebagian masyarakat Ambon masih memuja roh-roh halus dengan cara didiberi makan, minum, dan dibuatkan tampat tinggal semoga tidak mengganggu kehidupan sehari-hari. Untuk memasuki tempat roh halus atau dikenal dengan istilah belieu, mereka harus melaksanakan upacara tertentu dengan maksud mohon ijin kepada roh halus yang dimaksudkan.
Upacara tersebut dipimpin oleh tuan negeri yang dikenal dengan istilah mauweng, yakni mediator antara insan dengan roh-roh halus. Orang yang masuk ke belieu harus menggunakan pakaian adat, yakni berwarna serba hitam dengan sapu tangan merah yang dikalungkan di bahu.
Upacara tersebut dipimpin oleh tuan negeri yang dikenal dengan istilah mauweng, yakni mediator antara insan dengan roh-roh halus. Orang yang masuk ke belieu harus menggunakan pakaian adat, yakni berwarna serba hitam dengan sapu tangan merah yang dikalungkan di bahu.
Masyarakat Ambon menyebarkan sistem korelasi berdasarkan korelasi patrilineal yang dibarengi dengan contoh patrilokal. Kesatuan korelasi yang amat penting yang lebih besar dari keluarga batih ialah mata rumah atau fam, yaitu suatu kelompok korelasi yang bersifat patrilineal. Disamping itu, masyarakat Ambon juga menyebarkan sistem korelasi yang lebih besar yang dikenal dengan istilah famili. Famili ialah kesatuan korelasi yang masih mempunyai korelasi nenek moyang.
Masyarakat Ambon mempunyai kesenian yang menonjol, terutama dalam hal seni bunyi dan seni musik. Selain itu mereka juga menyebarkan seni ukir, dan seni kerajinan tenun. Seni ukir dipakai untuk menghiasi rumah-rumah budbahasa yang mereka bangun.
Dr. Hagen mengkalisifikasikan penduduk di pulau Irianjaya menjadi dua cuilan wilayah, yaitu: (1) penduduk yang berdiam di kawasan pantai, dan (2) penduduk yang berdiam di pedalaman atau pepegununganan. Di kawasan pedalaman terdapat suku-suku kerdil, dengan tinggi rata-rata 144,9 cm, yakni Suku Pasechem, Suku Kamaweka, Suku Tapiro, Suku Dani, Suku Asmat, dan suku-suku lain yang ada di pantai utara pulau Irianjaya. melaluiataubersamaini demikian, masyarakat Dani dan Asmat ialah masyarakat yang mendiami pulau Irianjaya.
Mata pencaharian utama masyarakat Dani dan Asmat ialah bercocok tanam, menangkap ikan, berburu, dan mengumpiulkan hasil-hasil hutan. Sagu dan kelapa ialah makanan pokok di kalangan mereka. Secara umum contoh kehidupan yang mereka kembangkan masih sangat sederhana.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat Dani dan Asmat intinya ialah kebudayaan peralihan antara kebudayaan Melayu dan kebudayaan Melguasia. Mereka sudah mengenal kontribusi kiprah yang didasarkan atas jenis kelabuin. Tugas-tugas yang berat ibarat berburu, menebang kayu, membangun jembatan, membangun rumah, dan sebagainya dikerjakan oleh kaum pria, sedangkan pekerjaan yang dianggap enteng ibarat menanam, menganyam jala, mengumpulkan hasil hutan, dan sebagainya dikerjakan oleh kaum wanita.
Secara umum masyarakat Indonesia sudah mengenal orang-orang Tionghoa, tetapi sebagian besar belum mengenal dengan sewajarnya. Pada dasarnya orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi, yaitu Fukien dan Kwangtung. Setiap imigran Tionghoa ke Indonesia selalu membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri. Setidaknya terdapat empat bahasa Cina yang dipergunakan di Indonesia, yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton.
Imigrasi orang-orang Tionghoa ke Indonesia sudah dimulai semenjak kurun ke-16 hingga sekitar pertengahan kurun ke-19. kebanyakan dari mereka berasal dari suku bangsa Hokkien dari propinsi Fukien cuilan selatan. Para penhadir ini mempunyai kepandaian dalam hal berdagang. Pada umumnya suku bangsa Hokkien ini bertempat tinggal di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pantai Barat Sumatera.
Imigran Tionghoa lainnya ialah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan negeri Cina, cuilan timur propinsi Kwantung. Orang-orang Teo-Chiu dan Hakka kebanyakan bekerja sebagai kuli di perkebunan dan pertambangan. Kebanyakan mereka bertempat tinggal di Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Bangka, Biliton, Jakarta, dan Jawa Barat. Orang Hakka merantau lantaran terpaksa. Selama berlangsungnya gelombang imigrasi dari tahun 1850 hingga 1930, orang Hakka ialah yang paling miskin di antara para perantau Cina.
Penhadir lainnya ialah orang-orang Kanton. Seperti orang-orang Hakka, orang-orang Kanton juga populer sebagai kuli di perkebunan dan pertambangan. Mereka bermigrasi ke Indonesia pada kurun ke-19 sebagai penarik tambang di pulau Bangka. Orang-orang Kanton ini mempunyai keahlian dalam hal pertukangan, pemilik took-toko besi, dan industri kecil. Saat ini, orang-orang Kanton lebih menyebar ke di kota-kota di seluruh wilayah Indonesia.
Meskipun para penhadir Cina bergotong-royong terdiri dari empat suku bangsa, namun dalam pandangan bangsa Indonesia secara awam terdiri dari dua golongan, yakni Tionghoa Totok dan Tinghoa Peranakan. Tionghoa totok ialah para penhadir Tionghoa yang masih berpegang teguh dengan identitas, budbahasa istiadat, dan bahasanya sehingga susah berakulturasi dengan bangsa Indonesia.
Sedangkan Tionghoa Peranakan ialah pada penhadir Tionghoa yang sudah melaksanakan pendekatan-pendekatan dan bahwa melaksanakan perkawinan dengan bangsa Indonesia. Kebanyakan dari Tionghoa peranakan ini sudah lupa pada identitas, budbahasa istiadat, dan bahasanya sendiri, diganti dengan identitas, budbahasa istiadat, dan bahasa yang ada di lingkungan tempat tinggalnya di Indonesia.
Sedangkan Tionghoa Peranakan ialah pada penhadir Tionghoa yang sudah melaksanakan pendekatan-pendekatan dan bahwa melaksanakan perkawinan dengan bangsa Indonesia. Kebanyakan dari Tionghoa peranakan ini sudah lupa pada identitas, budbahasa istiadat, dan bahasanya sendiri, diganti dengan identitas, budbahasa istiadat, dan bahasa yang ada di lingkungan tempat tinggalnya di Indonesia.
Ditinjau dari mata pencahariannya, sekitar separuh dari orang-orang Hokkien, yang ada di Indonesia bekerja sebagai pedagang. Namun demikian, di Jawa Barat, dan di pantai barat Sumatera orang-orang Hokkien bekerja sebagai petani dan menanam sayur mayor. Di Siapiapi (Riau) orang-orang Hokkien bekerja sebagai penangkap ikan.
Orang Hakka di Jawa dan Madura kebanyakan bekerja sebagai pedagang dan pengusaha industri kecil. Di Sumatera orang-orang Hakka bekerja di pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat kebanyakan mereka bekerja sebagai petani.
Orang Teo Chiu kebanyakan bekerja sebagai petani dan penanam sayur mayur. Di perkebunan Sumatera Timur sebagian besar di antara mereka bekerja sebagai kuli perkebunan. Sedangkan di Kalimantan Barat mereka bekerja sebagai petani. Beberapa orang Teo Chiu yang ada di kota-kota di Indonesia bekerja sebagai pedagang dan pengusaha industri kecil.
Orang-orang Kanton di Jawa mempunyai perusahaan industri kecil dan perusahaan dagang hasil bumi. Di Sumatera kebanyakan di antara mereka bekerja sebagai petani, penanam sayur mayor, dan buruh tambang. Sedangkan di Palembang banyak orang Kanton yang bekerja sebagai tukang dalam industri minyak.
Dalam hal perdagangan, orang-orang Tinghoa membuat organisasi yang didasarkan atas sistem kekerabatan. Sebagian besar perjuangan orang Tionghoa ialah kecil ibarat kantor dagang, took, atau gudang yang diurus oleh satu keluarga tanpa membutuhkan pekerja yang diambil dari luar. Jika usaspesialuntuk menemui sukses, biasanya mereka membuka cabang di kota lain dalam bentuk yang sama dan dipegang oleh seorang saudara atau kerabat lainnya.
Usaha perdagangan orang Tionghoa di Indonesia biasanya tidak tetap. Mereka selalu terancam kebangkrutan. Oleh lantaran itu, di antara perusahaan mereka jarang yang bisa bertahan hingga tiga generasi. Salah satu alasannya kebangkrutan itu ialah kegoncangan harga pasar yang selalu berada di luar pengetahuan mereka.
Organisasi perdagangan yang kecil dan kontribusi yang merata di antara keturunannya menjadikan mereka selalu memulai suatu perjuangan dengan modal yang kecil. Kebanyakan keturunan mereka tidak memperhatikan perjuangan orang tuanya, sehingga perusahaan itu akan mati bersamaan dengan meninggalnya orang renta di antara mereka. Hak milik hasil perjuangan dipegang oleh seluruh anggota keluarga ditambah dengan famili terdekat. melaluiataubersamaini demikian, perjuangan anggota keluarga dengan simpel sanggup dipersatukan.
Karena sebagian besar orang Tionghoa tinggal di perkotaan, maka perkampungan mereka biasanya ialah deretan rumah-rumah yang saling berhadapan di sepanjang jalan sentra pertokoan. Biasanya ialah rumah-rumah petak di bawah satu atap yang tidak mempunyai pekarangan. Ciri khas rumah orang Tionghoa kuno ialah pada cuilan ujung atapnya berbentuk lancip ditambah dengan hiasan berupa tabrakan naga.
Dalam satu perkampungan biasanya terdapat satu atau dua kuil. Kuil-kuil tersebut bukanlah ialah tempat ibadah, melainkan ialah tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak, dan tempat orang mencurahkan rasa besar hati atas kesuksesan yang diraih. Untuk itulah mereka memperabukan hio (dupa) kepada tuhan yang dianggap sebagai pelindungnya.
Orang Tionghoa dianggap sudah dewasa dan menjadi orang sehabis melaksanakan perkawinan. Itulah sebabnya upacara perkawinan biasanya dibentuk mahal, dan unik, lantaran dianggap ialah suatu cuilan penting dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Upacara perkawinan tersebut biasanya diatur sepenuhnya oleh orang renta dari kedua belah pihak.
Bentuk rumah tangga yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa ialah keluarga luas yang terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu:
(1) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang renta dengan spesialuntukn anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya, ditambah dengan saudara-saudaranya yang belum kawin, dan
(2) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang renta dengan belum dewasa laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing masing.
(1) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang renta dengan spesialuntukn anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya, ditambah dengan saudara-saudaranya yang belum kawin, dan
(2) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang renta dengan belum dewasa laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing masing.
Orang-orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok korelasi terkecil bukanlah keluarga batih, melainkan keluarga luas yang virilokal. Oleh lantaran itu korelasi dengan kaum kerabat pihak ayah akan lebih erat dibandingkan dengan korelasi dengan kaum kerabat pihak ibu.
Demikianlah Materi Keguakaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak, Bugis, Ambon, Dani, Asmat dan Tionghoa, semoga bermanfaa.