Sejak tahun 1998 digulirkannya tuntutan reformasi ternyata telah membawa dampak yang signifikan, salah satunya yaitu diberlakukannya otonomi tempat pada tahun 2003. Arah perubahan kebijakan tersebut juga membawa dampak pada dunia pendidikan. Paradigma pendidikan yang awalnya sentralistik kini menjadi desentralisasi, ini yaitu bentuk kasatmata atas diterapkannya reformasi di bidang pendidikan.
Pelaksanaan otonomi pendidikan di dorong oleh beberapa faktor diantaranya tuntutan oleh segenap pemangku kepentingan, terdapat dampak negatif dari sistem sentralisasi pendidikan, berlakunya reformasi pada bidang pendidikan. Di dalam masa reformasi, partisipasi atau tugas serta orangtua, masyarakat, pebisnis, legislator ikut terlibat di dalam melaksanakan kontrol dan evaluasi kualitas proses serta output pendidikan.
Pada masa reformasi, pendidikan nasional mengalami banyak tantangan, salah satunya yaitu peningkatan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan dituntut untuk menawarkan pelayanan yang baik di dalam proses pendidikan, baik layanan di dalam kelas maupun di luar kelas. Program-program yang disajikan sebaiknya menyenangkan dan menggairahkan agar anak didik mempunyai motivasi lebih untuk belajar.
Maksud diberlakukannya otonomi pendidikan bekerjsama baik, diyakini dengan adanya otonomi pendidikan kualitas pendidikan akan semakin maju. Maksud dan tujuan otonomi sistem pendidikan yaitu kondisi pendidikan yang ada di tempat akan terbangun dengan kokoh.
Namun, seiring berjalannya waktu ternyata banyak permasalahan yang timbul. Banyak yang menilai bahwa otonomi pendidikan ketika ini belum efektif untuk mempercepat peningkatan mutu dan layanan pendidikan. Di daerah-daerah banyak bermunculan keluhan dari para guru akhir intervensi yang terlalu besar lengan berkuasa dari bupati atau wali kota.
Seiring berjalannya kebijakan otonomi daerah, maka perlu adanya tinjauan kembali dari sistem desentralisasi. Tuntutan yang banyak mengemuka yaitu adanya kebijakan yang sanggup mengembalikan kewenangan guru kepada pemerintah pusat, ini dilakukan agar guru tidak menjadi korban dari kepentingan politik kepala daerah. Tuntutan ini mengemuka sebagai akhir dari pengangkatan, penghargaan, pemberian sanksi, dll tidak memperhatikan riwayat karir dan kompetensi guru, melainkan lebih kepada perilaku mendukung atau tidak mendukung kepala daerah. Akibatnya guru menjadi serba salah ketika pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah. Diam salah dan menawarkan pertolongan kepada salah satu calon juga salah. Banyak guru yang menjadi korban ketika mendukung calon yang kalah, kesannya guru menjadi korban dan disingkirkan.